39. Dua Orang yang Berubah - Kilas Balik Kedelapan

530 63 2
                                    

Hari sudah gelap saat Nadia terpekur sejenak di depan kantor polisi, sepulang dari tempat kerja. Setelah memantapkan hati, wanita itu melangkah ke dalam sana. Nadia sedikit gugup karena ini kali pertama ia membuat laporan kriminal yang melibatkan dirinya. Namun, inilah harapan terakhir yang ia punya.

"Selamat malam, dengan Ibu siapa?"

"Nadia," jawab wanita itu singkat dan kaku ketika berhadapan dengan sang petugas.

"Ada yang bisa kami bantu, Bu Nadia?"

Jemari Nadia yang dingin bertaut erat di atas pangkuan. Jantungnya berdebar-debar. Mata yang sudah ditemani kantong hitam di bagian bawah, memandang pria di hadapannya dengan lekat. "Saya ingin melaporkan kejahatan yang terjadi pada saya."

"Kejahatan seperti apa, Bu?" Tangan pria itu berpindah ke atas keyboard komputer, bersiap mencatat semua informasi yang Nadia sampaikan.

Nadia berdeham sesaat karena tenggorokannya tercekat. "Ada yang sengaja menggugurkan kandungan saya."

Sambil mengetik, pria itu kembali bertanya, "Siapa? Suami Ibu? Dokter? Keluarga?"

Siapakah Linda? Wanita itu bukan siapa-siapa dalam hidup Nadia. Kemarahan perlahan terbit dalam hati. Orang yang bukan siapa-siapa, tega berbuat keji pada dirinya. "Kenalan saya, namanya Linda."

"Oke. Kenapa Linda sengaja menggugurkan kandungan Ibu?"

"Mungkin dia nggak merestui hubungan saya dengan anaknya."

Alis pria itu berkerut samar. "Jadi, Linda ini mertua Ibu?"

Pertanyaan itu sontak membuat Nadia malu. Apakah keputusannya untuk datang kemari, justru membeberkan aibnya sendiri? Jujur, kemarin ia tidak sempat berpikir tentang hal ini. Ia hanya ingin Linda mendapat hukuman, meskipun hal itu tidak akan pernah mengembalikan kondisi tubuh Nadia seperti sediakala.

Wanita itu tertunduk. Dengan berat hati, ia mengaku, "Bukan. Kami belum... menikah." Lebih tepatnya, Nadia tidak akan menikah dengan Alden. Ia bersumpah.

Pria itu hanya mengangguk-angguk. Namun, saat sekilas pandangan mereka bertemu, Nadia tahu arti tatapan yang mencemooh itu.

"Kapan kejadiannya?"

"Lima hari lalu. Dia mengantarkan obat ke saya. Saya nggak tau kalo itu bisa menggugurkan kandungan."

"Apa ada saksi mata saat kejadian berlangsung?"

Nadia tertegun sesaat, kemudian menggeleng lemah.

"Kalau begitu, bagaimana kami bisa membuktikan bahwa Linda sungguh memberikan obat itu? Apa ada kamera CCTV di sekitar lokasi itu?"

Mulut Nadia terbuka, tetapi terkatup kembali. Tidak ada jawaban yang bisa ia berikan. Sekali lagi, ia menggeleng. Keyakinannya mulai goyah.

"Oke, kita anggap Linda memang memberikan obat itu. Tapi, apa Ibu nggak mencari tau dulu, apakah obat itu memang dianjurkan untuk ibu hamil?"

"Saya cari tau kok, Pak." Merasa dicecar, nada bicara Nadia mulai keras. "Saya tau obat itu bukan buat ibu hamil, tapi dia bilang, saya harus minum itu karena informasi yang beredar di internet, keliru," tuturnya cepat. Emosi Nadia bergejolak. "Saya tau, saya bodoh karena gampang ditipu dia, tapi saya mohon, Pak, saya mohon adili Linda. Saya nggak terima kalo dia bisa hidup dengan santai, sementara saya menderita begini."

Sorot mata yang memelas, rupanya tak berefek apa-apa kepada sang petugas yang justru menghela napas panjang.

"Begini, Bu. Saya pernah mendapat laporan serupa. Namun, setelah dilakukan penyelidikan, rupanya sang pelapor memang bertujuan menggugurkan kandungan karena hamil di luar nikah. Dia stress, depresi, makanya menyalahkan orang lain atas tindakannya."

Hearts Intertwined [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang