❝Kita adalah ketidaksengajaan yang diatur baik oleh Tuhan❞
Menyandang nama sebagai putra kepala Distrik 9 membuat Felix menjadi incaran. Dia kunci dari sesuatu yang berharga---sehingga selama 10 tahun, keberadaannya berusaha disembunyikan.
Drama |...
Jeong In menghentikan jogging sorenya sebentar, mendongak dengan mulut sedikit terbuka, hendak bersin.
"Ha ... Ha-Hach----"
"Kenapa lo ngelukain abang gue!" Seungmin tiba-tiba menyerang, mencengkram kerah baju dan mendorong Jeong In sampai punggungnya membentur tembok. "Apa gitu caranya lo berterima kasih?!"
Tatapan Jeong In melebar, menggeleng cepat. "A-aku gak bermaksud ngelukain abangmu, Min. Itu karena ... dia datang buat ngelindungi Felix."
Seungmin mengerutkan kening. "Felix buat salah apa sama lo?"
"Apa abangmu gak ngejelasin apapun?" tanya Jeong In. "Aku bakal jelasin. Ayo kita duduk sana sambil minum es ganja," tunjuknya pada kedai minuman di seberang jalan.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jeong In menjelaskan perihal ketidaksengajaannya melukai Bang Chan yang mana berkaitan dengan identitas Felix.
Seungmin terkesiap mendengar hal tersebut, tidak menyangka bahwa laki-laki yang biasa dipanggilnya 'piyik' itu ternyata anak seorang Kepala Distrik. Selama ini tidak pernah ada orang yang datang untuk mencari atau menanyakan keberadaan Felix. Sehingga dia berpikiran bahwa saudara angkatnya itu adalah anak jalanan yang kabur dari kejaran satpol pp lalu tersesat ke hutan dan berujung jatuh ke jurang.
"Felix gak ingat apapun tentang masa lalunya. Pas pertama kali ketemu, dia gak ngenali lo sama sekali, 'kan? Kenapa lo masih berpikiran dia bakal ngerebut posisi lo itu?" tanya Seungmin geram. Tidak habis pikir dengan tindakan gegabah yang dilakukan pemuda bermata sipit tersebut.
Jeong In mengangguk lemah. "Kupikir tadinya dia pura-pura. Ya, mungkin sikapku keterluan dan kelewat batas. Tapi itu karena aku takut kehilangan Papa, Kak Minho, Kak Hyunjin, juga kehidupanku sekarang."
"Bukan 'mungkin', tapi memang keterluan. Bisa-bisanya lo pakai identitas orang lain demi kebahagiaan sendiri. Apa lo gak mikir konsekuensi kalau ketahuan bohong sama keluarga konglomerat itu?" cecar Seungmin, sedikit meninggikan nada bicara.
Jeong In tertunduk, menghela napas kemudian kembali menegakkan wajah, tersenyum getir sembari mengaduk minumannya. "Aku udah siap kalau nanti dihukum mati. Setidaknya aku bisa mati dalam keadaan bahagia karena merasa berkecukupan dan punya keluarga."
Tanpa terasa buliran likuid terkumpul di pelupuk mata Seungmin ketika mendengar penuturan Jeong In. Dia paham sekali rasanya, dibayangi ketakutan akan kehilangan sebuah keluarga. Teringat, dulu dengan badan mungilnya harus merawat abangnya yang kala itu tidak sadarkan diri beberapa hari di rumah sakit.
Selalu terbayang akan ditinggal seorang diri. Tiap hari Seungmin selalu memandang wajah sang kakak, menunggu matanya terbuka dan dirinyalah sebagai seseorang yang pertama kali dilihat. Untung saja Bang Chan berhasil melewati masa kritis sehingga dapat membersamainya sampai saat ini.
"Apa salah ... jadi egois?" gumam Jeong In pelan, memecah kesunyian di antara mereka berdua.
Laki-laki bersurai darkbrown di samping Jeong In berkedip beberapa kali, mengembalikan air mata, mengangkat sedikit ujung bibirnya. "Kalau mau buat orang lain bahagia, lo juga harus bahagia. Kalau terlalu sulit, pikirin aja kebahagiaan lo dulu. Jadi egois gak selalu buruk."