Satu dasawarsa lalu, setelah Minho menembak Ayah Jeong In yang didapatinya mengkhianati Kepala Distrik 9, dia mengambil beberapa rekaman CCTV di mansion untuk dijadikan bukti.
Sesudah Minho pergi, di saat itulah Jeong In baru tersadar sehingga keberadaannya tidak sempat terekam.
Namun pada akhirnya, kamera pengintai itu tidak cukup untuk menguak siapa pelaku utama atas pembantaian yang telah memakan banyak korban jiwa.
Penembakan yang dilakukan seorang remaja di bawah umur tersebut tidak terpublikasi demi keselamatan Minho dan nama baik sang konglomerat. Hanya segelintir orang-orang terdekat saja yang tahu, termasuk Ibunya Han. Hyunjin saja tidak mengetahui soal ini.
Han juga mengetahui fakta tersebut tapi memilih bungkam.
Selain dibuat muram atas hilangnya Felix, selama ini Minho juga dibayangi rasa bersalah dan trauma mendalam akibat telah membunuh seseorang. Jika putra sulung konglomerat itu sampai tahu kalau Jeong In adalah anak dari pria yang ditembaknya, bisa saja dia memberikan segalanya sebagai penebus dosa. Bahkan jika harus menyerahkan posisi sebagai penerus ayahnya sekali pun.
Han tidak rela hal itu terjadi pada Minho.
Kendati niat awal Jeong In hanya ingin merasakan hidup layak dengan mengaku sebagai Felix, tujuannya berubah menjadi pembalasan dendam ketika bertemu dengan wanita yang diyakini sebagai pembunuh sang ayah. Dia memilih balas dendam dengan tangannya sendiri daripada harus bekerja sama dengan polisi.
"Kamu juga harus tahu, ayahmu bagian dari komplotan yang menyerang tamu di mansion malam itu. Seorang pembunuh pula."
Cengkeraman tangan Jeong In melemah. Kelopak matanya terkulai, pikirannya teralihkan. Sebentar saja, dia kembali menguatkan diri untuk fokus pada tujuan. "Kau berusaha memperdayaiku?! Gak akan mempan!"
Jeong In mengerang keras, tiba-tiba ada sesuatu menusuk bahunya. Dia melepaskan cengkeraman di leher Ibunya Han, mundur beberapa langkah.
"Kurang ajar lo, Anak Kecil!!!" pekik Han sembari memegang gunting yang berlumuran cairan merah.
"Jangan panggil aku anak kecil! Namaku Ayen! Ayen!" seru Jeong In, meringis kesakitan, memegang bahu yang telah tertusuk sambil menghunjamkan pandangan sengit pada laki-laki yang berdiri tidak jauh darinya.
Han menatap nanar. "Jadi itu sebabnya lo beralih kerja di kantor ini. Ternyata untuk mengawasi nyokap gue. Lo pura-pura baik, lugu, dan lemah tapi menusuk dari belakang!"
Jeong In menyeringai, kelopak mata terbuka lebar, wajahnya menantang. "Balas dendam terbaik adalah samperin dan hajar di tempat. Nunggu karma kelamaan. Harus mandiri. Jangan ngerepotin Tuhan." Dia memutar badan, memberikan serangan balasan, menendang perut Han dengan punggung kaki terkuat.
Han terhempas, pinggulnya membentur meja. Diangkat wajahnya, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibir, membuang gunting di tangan. Dia mengatur napas kemudian berlari, menangkap bagian lengan bawah Jeong In lalu memutarnya hingga terbanting.
Jeong In terkapar dengan darah mengucur dari pelipis karena terbentur sudut lemari. Belum sempat bangkit, dadanya keburu diinjak kuat oleh Han sampai tulang rusuk terasa patah. Dia terlihat sangat kesakitan. Cairan merah masih terus merembes dari luka di bahu, napas memburu, kedipan matanya mulai melemah.
"Jangan ngerepotin Tuhan, lo bilang?" Han menghentakkan sepatunya di atas dada Jeong In, sembari menyipitkan mata. "Lo juga harus tau. Tuhan Maha Pemaaf, tapi gue gak," desisnya lalu melayangkan tinjuan terakhir.
Pikiran kusut, takdir kusut, hubungan kusut, semuanya serba kusut. Entah bagian mana yang harus kugunting dan dibuang. Huft, dasar bajingan beretika.

KAMU SEDANG MEMBACA
Dark Sunshine
Fiksyen Peminat❝Kita adalah ketidaksengajaan yang diatur baik oleh Tuhan❞ Menyandang nama sebagai putra kepala Distrik 9 membuat Felix menjadi incaran. Dia kunci dari sesuatu yang berharga---sehingga selama 10 tahun, keberadaannya berusaha disembunyikan. Drama |...