1. "Wajib sama kamu."

327 19 30
                                    

Kaluna

Mataku masih terpejam kuat. Kepala dan badanku juga masih nyaman berbaring di tempat yang kuyakini sebagai kasur ini. Namun, telingaku sudah menangkap suara krasak-krusuk dari sebelah. It should be still the start of the day, right? Masih subuh harusnya, dong?

Makin kubiarkan suara itu, makin terdengar jelas seperti tidak rela membiarkanku melanjutkan tidur pulas. Asli, ini badan seperti habis digebukin orang satu kampung. Pegel, iya. Linu, iya. Jangan-jangan ada lebam juga.

"Kal ... Kaluna?"

Nah, sekarang ada suara Erik.

Ha?

ERIK?

Tanpa menunggu kalimat kedua terucap, mataku terbuka sempurna demi melihat siapa yang sekarang tengah menyentuh pundakku sambil menggoyang-goyangnya pelan.
Ketika tatapan kami beradu, laki-laki di depanku itu menyunggingkan senyum.

"Capek banget, ya?"

Wait. Why do I look like a drunk girl who lost her memories temporarily?
Sungguh, aku bingung dengan situasi sekarang. Erik, kok bisa dia di kamarku?

"Yuk, Subuhan dulu."

Mataku terus menatapnya lekat seakan itu bisa membuatku menemukan jawaban atas kekosongan pikiranku saat ini.

"Atau mau aku gendong ke kamar mandi?" Senyum jailnya mengembang. Seketika ingatan-ingatan sehari sebelumnya memaksa masuk ke alam sadarku. Menyentakku dengan satu fakta bahwa I'm marrying him. Erik is my husband officially!

"Nantangin, nih? Beneran, ya? Girl, you play with a wrong person."

"Erik, ah! Udah, tunggu, aku ke kamar mandi dulu."

Tawanya meledak seiring aku berjingkat masuk ke kamar mandi. Keran westafel kunyalakan dalam posisi paling kencang, mencoba menjernihkan pikiran dengan suara airnya yang mengucur deras. Segera kubasuh wajahku dengan air dingin beberapa kali, berharap kesadaranku yang rasanya masih setengah-setengah terkumpul ini bisa segera penuh. Kuamati pantulan wajahku di depan cermin. Tampak wajah bersih tanpa bekas make up, dua mata yang sehat, hidung, bibir, dan dua pipi yang terasa menghangat. Pelan-pelan gambaran apa dan bagaimana Erik dan aku menghabiskan malam setelah resepsi kami tersuguh di depan mataku.

Kupejamkan mata rapat-rapat. Pipiku makin memanas. Tidak salah lagi. Hubungan lima tahun kami akhirnya berakhir di pelaminan. Aku tak kuasa menahan senyum di bibir. Selain kenyataan bahwa aku resmi menyandang gelar Ny. Wiratama, cita-cita sederhanaku sejak dahulu kala segera bisa terwujud.

Menjadi seorang penulis.

Aku sudah sepenuhnya sadar untuk mengingat kalau aku resign dari kantor setelah acara lamaran tiga bulan lalu. Prosesku dan Erik untuk menjadi suami-istri memang tidak terlalu lama. Keluarga kami sudah saling mengenal satu sama lain. Lima tahun jelas bukan waktu yang sebentar, kan? Begitu orangtua kami tahu bahwa anak-anaknya ini siap melangkah ke jenjang lebih serius, mereka juga gerak cepat membantu persiapannya.

And now I'm too excited for the next step of my journey. Our journey for exactly.

Aku dan impianku menjadi penulis. Erik dan impiannya untuk selalu menjadi the one and only supportive husband.

Beres dengan urusan bersih-bersih di kamar mandi, selanjutnya adalah momen salat berjamaah pertama kali kami, karena kemarin masih berjamaah dengan keluarga besar. Jadilah saat-saat ini adalah pengalaman tak tergantikan. Beribadah dengan orang yang kamu percaya bisa menemanimu seumur hidup, bukannya itu saja sudah terdengar romantis? Atau bahkan lebih dari sekedar romantis.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang