19. "Just do what you want."

45 5 11
                                    

Kaluna

Deswita, Mandra, Sanjaya, dan aku. Kami berempat harus bekerja sama dalam satu tim. Sebagai orang baru, sah-sah saja mungkin untukku merasa asing dengan lingkungan baru, walaupun tetap harus secepatnya beradaptasi. Yang membuatku takjub adalah melihat tiga orang di tim ini. Mereka bertiga terlibat urusan melebihi urusan kantor, tapi profesionalitas mereka patut diacungi empat jempol!

Aku yang menghadapi Baskara di rumah harus pasang mental sekuat baja tiap detiknya, tidak bisa disandingkan dengan kekuatan mental Deswita, Mandra, atau pun Sanjaya terlepas dari apa yang sebenarnya dia rasakan.

Deswita pernah hampir tunangan dengan Mandra, namun keduanya merasa tidak bisa melanjutkan hubungannya. Putus baik-baik, mungkin adalah istilah yang bisa dipasang jadi tag line kisah mereka.

Deswita dan Sanjaya, si Muka Jutek. Yang satu ini aku sendiri susah mendeskripsikannya. Menurut cerita Mandra, Deswita dan Sanjaya memang akrab satu sama lain. Peduli satu sama lain. Di mana Deswita merasa kesulitan, Sanjaya bisa secepat kilat membantu. Begitu juga sebaliknya. Hanya saja hubungan mereka stuck.

"Sanjaya, he's not type of someone you can easily deal with. Gue saja yang sesama cowok ini masih nggak paham sama yang dia pikirin," kata Mandra.

Kami sekarang break di pantry. Alasanku bukan karena tempat ini sudah jadi tempat favorit, tapi satu-satunya sofa yang bisa dipakai berselonjor kaki sekaligus menyamankan punggung yang rasanya sudah rontok ini, cuma ada di sini.

"Kalau gue mampu, Deswita nggak mungkin gue lepas," Mandra melanjutkan. Laki-laki kurus tinggi itu duduk sambil melempar pandangan ke jendela. "Sori, malah jadi menye-menye."

"Santai," sahutku maklum.

Kuminum lagi teh hangat yang kubuat sendiri tadi. Mungkin kalau kondisinya berbeda, di hari pertama datang bulan yang sakitnya luar biasa ini, aku bisa menikmati teh hangat buatan Baskara tadi pagi.

Membicarakan laki-laki itu, tidak bisa membuatku lupa tentang bagaimana caranya melamarku dengan cincin di jari manisku ini.

Cincin yang disimpan di lemari dasbor. Cincin yang katanya memang sudah disiapkan sejak hari pertama kami bertemu. Cincin yang makin hari makin membelenggu perasaanku.

Perlahan, kusentuh cincin yang masih melingkar di tempatnya.

Ternyata benar, mahal-murah harganya, terkenal tidaknya mereknya, besar-kecil permatanya, sama sekali tidak berpengaruh pada kehidupan yang akan dijalani seorang perempuan setelah terikat simbol pernikahan itu.

Look at this rock. Sandra sampai jejeritan demi melihat benda ini. Ironis, mewahnya benda ini tidak bisa menolongku ke luar dari masalahku dan Baskara.

Dengan perasaan menekan-nekan hati, kulepas cincin yang pernah kubanggakan di depan Mama, Papa, dan Sandra itu. Kumasukkan ke dalam saku celana. Mungkin beginilah sebaiknya nasib si cincin. Tersimpan rapat. Tersembunyi. Tanpa perlu ada orang yang tahu.

Kini, bukan cuma Mandra yang menye-menye memandang pemandangan jalanan di bawah sana lewat jendela. Aku ikut serta dalam momen menyesakkan ini.

Tak lama kemudian, pintu pantry di dorong terbuka. Sanjaya masuk. Sekilas dia melihat ke arahku, lalu sibuk menyiapkan kopinya.

"Lo sakit?" tanya Sanjaya. Mandra seketika ikut menoleh.

"Lo sakit, Kal?" Mandra terlihat cemas.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang