22. "Aku butuh kamu, Kal."

70 6 2
                                    

Baskara

"Kaluna, kamu di mana? Masih di kantor?"

"Iya, ini sudah mau pulang. Ada apa, ya?"

Gue menghembuskan napas lega. Setelah beberapa kali mencoba menghubungi Kaluna, tapi nggak bisa-bisa, akhirnya bisa juga gue dengar suaranya. Bukan karena tadi Bapak-Ibu datang mendadak, bukan juga karena sekarang mereka mengajak kami makan malam bareng, tapi lebih dari itu.

Gue takut Kaluna benar-benar"pergi" setelah kesintingan yang sudah gue perbuat kemarin malam. It should be our first kiss, but i ruined it.

"Aku jemput aja, ya, biar nggak kelamaan. Mobil ditinggal aja, besok aku antar," kata gue sambil menginjak gas lumayan kencang. Sekali lagi bukan karena untuk menutupi keadaan dari Bapak-Ibu. Mereka anteng-anteng saja duduk di bangku belakang.

"Nggak perlu, ini aku beneran sudah mau balik."

"Aku lagi sama Bapak-Ibu. Kita diajak dinner bareng. Aku ke kantor kamu sekarang, ya. Bentar lagi sampe." Gue memaksa.

Tadi pagi, sewaktu gue terbangun dengan kondisi apartemen sudah sepi, hanya ada toast yang biasa Kaluna bikin untuk sarapan kami di atas meja, gue sadar cara gue menghadapi Kaluna salah. Kalau pun nggak ada acara dadakan dengan Bapak-Ibu, gue akan tetap menyusul Kaluna ke kantornya malam ini. Gue berencana menjelaskan semuanya.

"Oke. Aku tunggu."

Setuju dijemput dalam kondisi begini adalah sikap Kaluna yang sangat gue syukuri.

Gue sudah jadi laki-laki paling brengsek yang pernah dia kenal, bahkan lebih dari kelakuan mantannya. Gue pun tahu seharusnya bukan cuma gue yang perlu mempersiapkan diri, Kaluna juga berhak tahu apa rencana gue.

Seharusnya sejak awal Kaluna gue ajak ke dalam agenda yang selalu gue pikirkan di otak ini.

"Kaluna memang sering lembur begini, Bas?" tanya Ibu setelah sambungan telepon gue dan Kaluna selesai.

"Nggak, sih, Bu. Ini karena ada project aja, jadi sering lembur," jawab gue semasuk akal mungkin.

"Kamu juga sering pulang malam?" giliran Bapak yang bertanya. Gue menelan saliva.

"Lagi banyak pesanan, Pak."

Setelahnya, mereka hanya saling tatap sebentar, lalu diam, membiarkan gue fokus menyetir. Semoga dinner bersama pertama ini nggak jadi momen penghancur rencana gue dengan Kaluna.

Nggak lama kemudian, hasil dari tancap gas yang lumayan nggak santai, Kaluna berhasil gue jemput. Dia segera masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku sebelah gue. Hal yang sudah nggak pernah gue lihat sejak kami sah jadi pasangan suami-istri.

Satu lagi yang selalu gue tandai dari Kaluna. Istri gue ini, ya, wanginya nggak kenal waktu. Sudah seharian kerja, meskipun raut wajahnya jelas menunjukkan bahwa dia capek, tapi penampilannya masih enak dilihat. Parfumnya seperti memang diciptakan untuk dia, aromanya nggak berlebihan dan Kaluna sekali.

Soft. Fresh.

Juga, seperti yang sudah-sudah, gue akan memastikan cincin nikahnya masih dipakai. Selain parfum yang dia pakai, cincin di jari manisnya itu seolah memang dirancang khusus untuk Kaluna. Melihat kenyataan bahwa dia tetap memakai cincinnya bahkan ketika hubungan kami sedang tidak sejelas ini, selalu bisa membuat gue tenang.

"Bapak, Ibu, kok, nggak ngabarin kalau mau datang? Saya jadi nggak enak sampai harus jemput ke kantor," kata Kaluna setelah mobil kembali bergerak menuju Smarapura. Semoga restoran pilihan gue bisa membuat suasana bagus, sehingga mood siapa pun nanti tetap terjaga baik.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang