3. "Lo mau dijodohin?"

79 10 6
                                    

Kaluna

Enam puluh hari. Delapan minggu. Dua bulan penuh. Kamar sudah seperti duniaku. Selama masa hibernasi itu aku sudah menggelontorkan pundi-pundi rekeningku untuk membeli buku secara online.

Ada Jodoh Monica, Cewek Matre, dan I Love My Boss-nya Alberthiene Endah. I have loved her books since Jokowi: Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta. Not me trying to talk about politics and stuff, I adore her way of writing a biography in telling story style. Sebelumnya aku juga sudah membaca biografi Chrisye yang juga hasil kepiawaian seorang Alberthiene Endah. Tidak ada kesan kakunya sama sekali. Jujur, aku bukan termasuk penikmat karya non-fiksi, kadang-kadang kalau memang dibutuhkan yang berkaitan dengan riset tulisanku, baru aku rela membaca. It's wrong, everybody. Kalau kamu berniat jadi penulis, kamu wajib melahap buku apa pun itu demi memperkaya pengetahuan, juga menambah kosa kata. Belakangan, aku berpikir sepertinya itulah penyebab kenapa setelah sekian kali mencoba mengirim naskah, tak satu pun penerbit yang berminat menerbitkan karyaku.

Well, at least I've got another lesson during this fucking hard time, beside the person you love the most is the person who can hurt you bad.

Selain penulis dalam negeri, aku juga membabat habis Gravity-nya Robert M. Drake. The Paris Library-nya Janet Skeslien Charles yang sudah mengendon di cart dari kapan tahun, tapi baru kemarin itu aku beli. Bahkan secara random aku iseng membaca The Immortals of Meluha-nya Amish Tripathi. Apa pun itu untuk men-distract pikiranku yang masih tambeng mengingat-ingat hubunganku dan Erik yang sudah tidak tertolong.

Dan, pagi ini. Dengan kemunculan Sandra di rumah, mampu membawaku ke luar dari rumah ikut dia berkeliling di Blok M.

"Sepupu gue ada yang mau nikahan, gue diminta Nyokap ambil pesenan souvenir-nya. Multifungsi banget, kan, gue?" katanya sewaktu membujukku supaya mau turut serta, yang ternyata tidak sekedar ambil pesanan. Sandra juga membawa daftar barang yang harus dibeli, termasuk kain seragam keluarga.

"Ini lo yang jadi WO-nya apa gimana, sih?" tanyaku ketika kami menunggu pesanan bakso komplitnya Bakso Pak Mijan. Sebelum menjalankan misinya, Sandra ngide sarapan bakso. Kalau tunggu sampai selesai cari ini-itu keperluan nikahan sepupunya, dijamin yang kami temui cuma basement InterStudi yang kosong tanpa bisa mengisi perut dengan racikan bakso Malang yang aduhai enaknya itu.

"Hitung-hitung latihan, bund. Siapa tahu nanti gue perlu memangkas biaya WO di nikahan sendiri, jadi gue sudah tahu dos and don'ts-nya."

"Lo mau nikah?"

"Uh-huh, sama Kaka. Abis cerai, kan, doi? The real korban 'kamu terlalu baik buat aku'." Si Gendeng cekikikan setelah merampungkan kalimatnya sendiri.

"Kaka Slank?"

"Ya kali Kaka yang itu." Sandra melotot sebal, gantian aku yang terkekeh.

"Kaka Slank cakep, lho!"

"Secakep-cakepnya laki kalau sudah jadi suami orang, luntur keinginan gue untuk mendekati. Anti gue sama yang gitu-gitu. Kecuali kalau tajir melintir tujuh turunan, bisalah dibicarakan baik-baik."

"Edan!"

Sudah berapa lama aku tidak tertawa selepas ini, ya? Oh iya, sudah enam puluh hari. Delapan minggu. Dua bulan penuh.

Setelah menunggu beberapa menit,  bintang utama pagi ini datang ke meja kami. Dua mangkuk bakso komplit, dua mangkuk pangsit goreng, dan dua gelas es teh tersaji menggoda. Selain sudah lama tidak tertawa sepuas tadi, rasanya perutku pun sudah rindu diisi makanan kesukaan. Lupakan tentang kolesterol, lemak, dan kawanannya. Duniaku sekarang terpusat pada semangkuk kebahagiaan ini.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang