Kaluna
Kupaksa mataku terbuka. Lengket. Bahkan terasa bengkak. Kucoba menggerakkan kepala. Berat. Sementara pundakku terasa ditepuk-tepuk halus.
"Kal, Kaluna?"
Itu suara Mama. Pelan-pelan aku mulai bisa menyadarkan diri. Bau karbol khas rumah sakit menusuk hidung. Perutku mulai terasa mual lagi. Dengan cepat aku terduduk. Sudah sepenuhnya sadar, aku segera ke toilet. Memuntahkan kembali isi perut yang sebenarnya sudah tak berisi. Yang keluar hanya air. Kalau begini terus, lama-lama aku bisa kekurangan cairan.
Mama menyusul. Ditariknya ke belakang rambutku yang menutupi leher, dan sebagian area pipi agar tak terkena cipratan muntahan sendiri.
Pemandangan yang sama sekali tidak elok dipandang mata. Di westafel toilet, aku masih bertarung dengan gelegak hebat di perut. Mama memijat-mijat pundakku. Di sela penghabisan cairan itu, sekilas sempat kudapati pantulan wajah Mama di kaca. Beliau menahan tangisnya. Matanya sembab dengan kantung mata yang makin terlihat. Hidungnya merah.
Why should it happen to us? Why should it happen to you, Mas Baskara?
Setelah rasa mual yang menguras isi perutku sampai sebersih-bersihnya itu mereda, kubasuh wajahku. Penampakkanku di kaca juga tak kalah menyedihkan. Rambut yang taladinya terkuncir rapi, terlihat awut-awutan. Poni dan beberapa helai rambut yang terlepas dari ikat rambutku, basah terkena air saat cuci muka tadi. Berantakan. Kusut. Menyedihkan.
"Sekalian cek ke dokter, ya, Kal?" saran Mama setelah aku berdiri tegak. Agak sempoyongan.
Aku menggeleng pelan. "Sudah nggak apa-apa, kok."
"Kamu ini. Kalau kamu ikutan sakit, gimana sama Baskara? Nurut dulu sekarang."
Mama menuntunku ke luar toilet. Di ruang tunggu tempatku tertidur tadi, ada Sanjaya. Begitu melihatku, laki-laki yang biasa berwajah jutek nan tengil itu, seketika berdiri dengan raut khawatir. Dia menghampiri.
"Mau dibawa periksa sekalian Kalunanya, Tante?" tanyanya pada Mama.
"Iya, Tante khawatir dia kenapa-kenapa juga."
"Saya saja yang antar ke dokter. Tante istirahat dulu."
"Ya, sudah kalau gitu. Hati-hati."
Meskipun kepalaku masih seperti sedang diketuk-ketuk palu, aku bisa melihat keakraban alami antara Mama dan Sanjaya.
"Thanks, Jay. Lo belum pulang dari semalem?"
Dia menggeleng. "Memangnya penting gue sudah pulang atau belum?"
Aku berdecih. "Azzahra gimana?"
"Aman. Sudah gede, bisa urus dirinya sendiri. Lo ini yang harus diobati dulu."
Selama menjawab tadi, Sanjaya seperti menghindari kontak mata denganku. Bukan kebiasaan seorang Sanjaya yang selalu menatap lawan bicaranya intens, apalagi kalau perempuan.
Setelah mendatangi resepsionis rumah sakit, serta menjelaskan ini-itu, aku dan Sanjaya diarahkan ke sebuah ruangan dokter.
Di dalam, aku diperiksa, dan hasilnya membuatku tak bisa banyak bergerak.
"Sebaiknya istirahat dulu, ya, Mbak. Ada keluarga lain yang ke sini juga, kan?"
"Ada, Dok." Sanjaya cepat menyahut si dokter yang segera mengangguk lega. Menurut penjelasan si dokter tadi, aku kecapekan dan stres. Ketika tahu kronologinya dari Sanjaya, sang dokter mengucapkan ikut prihatin dan memberiku semangat supaya lekas sehat.
Lalu, aku diantar ke ruangan rawat inap, dan mulailah prosedur tusuk-tusuk jarum oleh perawat yang memasangkan infus ke tanganku.
Begini aja sakit banget, gimana kamu, Mas Baskara?
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]
Romance[ATTENTION! Novel ini adalah spin off "Pintu Merah Jambu", dan hanya tersedia sampai Bab 28 di Wattpad, ya. Versi lengkapnya ada di versi novel cetak. Kalau ada yang berminat beli, boleh drop comment aja. Selamat membaca 🫰🏻☺️] ...