24. "Tolong, Jay."

52 6 2
                                    

Baskara

Pagi terdamai yang pernah ada di hidup gue baru saja terjadi. Terbangun bukan lagi di sofa depan TV, tapi di kasur di samping perempuan cantik luar biasa yang menemani gue semalaman. Terbangun bukan karena khawatir tiba-tiba Kaluna minta pisah, tapi karena suara dengkur halus dari istri tercantik gue ini. Terbangun bukan lagi dengan kesumpekan yang sudah menumpuk, tapi dengan perasaan lega akhirnya gue bisa mengalahkan ego sendiri.

Kali ini pun, gue pandangi Kaluna yang masih terlelap bukan dengan penyeselan yang menyesakkan, tapi dengan rasa syukur yang membuncah.

Seingat gue, setelah ijab qabul adalah momen terakhir melihat Kaluna secerah ini. Malah yang sekarang wajahnya polos tanpa ada sentuhan make up, tapi sukses membuat gue gemas saking cantiknya. Bukannya kemarin-kemarin dia nggak cantik, Kaluna nggak pernah nggak cantik. Tapi, pagi ini cantiknya ugal-ugalan menyerang indera penglihatan.

"Kal? Kaluna?" gue panggil namanya sambil berbisik, nggak tega membangunkan, tapi memang harus bangun. "Sayang? Bangun, yuk."

Gue sentuh pundaknya yang nggak tertutupi sehelai benang pun. Dia sedikit bergerak, tapi malah makin menyamankan posisi.

Raut wajah tenangnya justru memancing gue untuk menciumi kening dan pipinya.

"Lho, sudah bangun, Mas Baskara?"

Ternyata dengan cara begitu, dia bisa membuka kedua matanya walau masih mengerjap-ngerjap pelan. Gue tersenyum.

"Sudah."

"Jam berapa ini?" Kaluna mengucek matanya sebelah.

"Setengah lima. Bangun dulu, yuk."

Mendengar itu, Kaluna mengerang pelan, lalu menarik selimutnya, menyembunyikan tubuhnya yang sudah bermandikan jejak kepemilikan atas gue.

Kalau nggak ingat hari ini dia masuk kerja dan gue pun masih punya urusan di tempat kerja, sudah gue buat dia sibuk dengan yang lain lagi.

"Kal, boleh nggak pagi ini aku yang masak?" tanya gue yang ternyata bisa membuat dia membuka mata lagi.

"Kenapa? Sudah bosan sama toast buatanku?" tanya Kaluna sembari menyipitkan mata.

"Nggak gitu, Sayang. Biar gantian aja yang masak." Tangan gue yang dari tadi sudah gatal mau menyentuhnya lagi, akhirnya menyibak beberapa anak rambut di sekitar pipi Kaluna.

Dia tertawa, lalu mengangguk.

"Ya sudah, yuk, bangun. Bisa-bisa kita nggak masuk kerja hari ini, kalau nggak bangun sekarang."

Kaluna makin terkikik. Dia cubit pipi gue. Gue cium bibirnya.

Pagi tergemas yang pernah mampir di hidup gue.

💍

Setelah bertarung melawan rasa malas kerja yang muncul setelah melihat Kaluna dalam balutan pakaian office style-nya, akhirnya di sinilah gue. Di ruang tamu yang menjelma jadi tempat terima klien sekaligus transitnya barang-barang pesanan ini, gue berkacak pinggang melihat tumpukan piring-piring hias yang belum dikeluarkan dari kotaknya.

Sepuluh lusin piring hias di dalam kardus. Sepuluh lusin piring hias yang belum tahu mau gue apakan. Sepuluh lusin piring hias yang kalau terjual semua sangat bisa menambah perekonomian banyak orang di sini. Sepuluh lusin piring hias yang sudah melewati macam-macam proses mulai dari teknik lining(1), coiling(2), modelling(3), wheel-technique(4), dibakar dengan suhu antara 1.100 sampai 1.250 derajat Celsius, sampai akhirnya diberi glasir(5) supaya lebih menarik.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang