4. "Namanya Galih, Bu."

67 13 41
                                    

Baskara

Sejak mendapat telepon dari Ibu kemarin siang, gue seperti nggak bisa tenang beraktivitas. Ingin banget sebenarnya untuk protes, meminta beliau dan siapa saja yang masih punya niat mengenalkan gue dengan orang yang mereka anggap cocok untuk menghentikan aksinya.

Enough.

Sekitar satu tahun sudah sejak gue mengetahui sebuah fakta yang membuat gue wajib mengakhiri hubungan bersama Dira, belum ada lagi keinginan untuk dekat dengan perempuan mana pun. Dekat dalam arti biar nanti jadi pacar atau kalau maunya Ibu jadi calon istri.

Persetan dengan istilah gagal move on, atau apalah itu. Ini hidup gue. Harusnya gue yang lebih berhak mengatur. Betul?

"Mas Bas, pesanan yang ini mau diantar kurir atau gimana?" Pak Imron, salah satu yang membantu gue nguleni tanah liat, bertanya sambil memindah satu guci berukuran besar ke dalam ruang tamu. Rumah ini lama-kelamaan kurang nyaman ditempati sebagai tempat tinggal, nanti kalau gue sudah ketemu calon ibunya anak-anak, akan gue sewa rumah atau apartemen, biar mereka nyaman.

Oh iya, sejak setahun terakhir ini gue selalu minta pegawai di sini untuk minta persetujuan gue dulu sebelum mengantar barang klien. Tujuannya kalau pas dengan mood gue untuk mengantar, biar gue yang turun tangan. Sekalian menyibukkan diri. Bukannya gue kurang kerjaan juga, tapi sibuk di jalan lebih menyenangkan ketimbang harus sibuk di dalam rumah yang terlalu banyak kenangan dengan Dira ini.

Gue nggak tahu kalau laki-laki juga bisa selemah ini perkara cinta. Cih. Geli, tapi kenyataannya gue alami sendiri.

"Saya aja yang antar, Pak. Tolong masukin ke bagasi, ya."

Sementara gue bersiap-siap, Pak Imron dibantu pegawai lain mulai melapisi si guci dengan kardus supaya lebih aman. Ketika gue sudah rapi, guci berwarna krem itu juga sudah selesai diletakkan aman di bagasi.

Sebelum berangkat, gue cek jadwal kedatangan pesawat yang ditumpangi Ibu-Bapak. Gue putuskan ke bandara terlebih dahulu, karena terlalu mepet kalau gue harus mengantarkan barang ke klien dulu. Walaupun tetap rasanya kurang nyaman, nggak mungkin gue ngambek dengan nggak menjemput mereka.

Kedatangan orangtua gue ini adalah kunjungan pertama kalinya setelah pernyataan bahwa gue dan Dira sebenarnya adalah kakak-adik beda ibu. Perjalanan menuju bandara membuat gue teringat dulu ketika akhirnya gue kembali ke Jakarta setelah sempat pulang ke Surabaya, seburu-buru itu gue ingin cepat bertemu Dira. Yang waktu itu gue pikirkan hanya rindu melihat dia secara nyata, bukan cuma suara atau penampakkan di Face Time. Sayangnya, kerinduan itu ternyata berbuah drama keluarga yang baru kami ketahui belakangan.

Tak lama, ponsel gue bergetar. Satu panggilan dari Ibu.

"Bas, Ibu sama Bapak sudah landing. Kamu bisa jemput jadinya? Atau Ibu sama Bapak naik taksi aja?"

"Ini saya sudah di jalan ke bandara, Bu. Tunggu sebentar, ya."

Sesebal-sebalnya gue, nggak akan pernah bisa kalau marah ke Ibu. Mereka tahu itu, jadi selalu Ibu yang menghubungi kalau ada rencana kopi darat dengan entah siapa lagi yang mau dijodohin ke anaknya ini.

Jakarta pagi ini cerah-ceria sekali, seperti ikut mendukung rencana Ibu. Kadang hidup memang sebercanda itu, segalanya jadi membaik ketika sesuatu yang justru nggak lo harapkan, muncul dengan mulusnya.

Sesampainya di bandara dan bertemu mereka, gue segera menjelaskan tentang kondisi rumah yang sudah seperti pabrik tanah liat.

"Nggak malah abisin uang kalau harus di hotel, Bas?" Ibu menatap ragu.

"Nggak apa-apa, Bu. Daripada nggak nyaman di rumah. Berisik banget, lho."

"Gimana kalau di rumah Kinanti aja?"

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang