17. "Nggak ada "kita" di sini."

64 8 4
                                    

Baskara

"Lo tahu kenapa banyak perempuan yang masih tergila-gila sama Titanic?" tanya Kinanti suatu sore, ketika gue menemani dia dan Ibu belanja kain seragam keluarga untuk resepsi gue dan Kaluna.

"Film Titanic, maksud lo?"

"What else?"

Gue mengendikkan bahu acuh. "Karena Leonardo DiCaprio-nya?"

"That's a fate. Kalau gue, terlepas dari semua adegan iconic Rose dan Jack, gue suka sama satu monolog Rose. A woman’s heart is a deep ocean of secrets. And, it's true, lho, Bas. Jangan jauh-jauh membahas isi hati wanita di luar sana, gue yakin Pakde saja belum tentu bisa memahami isi hati Bude sepenuhnya."

Itulah yang saat ini gue alami. Melihat Kaluna berdiri di hadapan gue detik ini dengan perubahan tatapan matanya yang tadi seperti menusuk-nusuk, sekarang jadi tatapan lembut, membuat gue ngeri sendiri.

"Hai, apa kabar?" Kaluna menyalami Dira. Keduanya juga secara alami saling memeluk dan mendaratkan ciuman persahabatan ala cewek di pipi kanan dan kiri.

"Baik. Maaf, ya, Mbak, aku belum sempet datang langsung ke rumah."

"Nggak apa-apa. Santai aja, nanti kalau luang datang, ya?"

Dira mengangguk semangat. "Pasti. Duduk sini, Mbak."

Mereka kemudian duduk di sudut ruangan yang dipakai Dira jadi "waiting room" untuk pembeli. Gue cuma bisa cengo melihat pemandangan itu. Natural sekali bahasa tubuh mereka seperti dua orang yang saling kenal, tapi sudah lama nggak ketemu. Atau Kaluna memang sudah tahu tentang Dira? Dari Ibu? Kinanti?

"Mas Bas! Sini. Ngapain lo di situ aja?" Dira melambaikan tangannya meminta gue duduk di samping Kaluna. Senyum segaris gue usahakan muncul supaya nggak terlalu terlihat bego.

"Bentar, aku bikinin minum dulu, ya." Dira beranjak dari kursi menuju pantry meninggalkan gue dan Kaluna.

"Aku nggak tahu kamu sudah tahu Dira." Sebuah kalimat yang satu detik setelahnya gue sesali kenapa harus meluncur dari mulut. Kaluna melayangkan tatapan yang nggak gue mengerti, tapi gue tahu itu bukan tatapan biasa.

"Aku lagi pengin ada bunga di rumah. Boleh, kan?" tanya Kaluna.

"Boleh," jawab gue sedikit gugup.

A woman’s heart is a deep ocean of secrets. Sedalam apa rahasia yang dipunya Kaluna sekarang sampai membuat gue merasa ditelanjangi tanpa gue tahu maunya apa.

"Kamu ...." Tenggorokan gue makin kering melihat Kaluna bersikap seolah biasa saja, padahal baru beberap menit yang tadi dia seperti mau menampar gue di tempat. "Kamu sudah kenal Dira?"

Kaluna menoleh. Tersenyum. I swear this is the most horrible smile I've ever seen.

"Memangnya aku nggak boleh kenal?"

"Bukan gitu, maksud aku--"

"Eh, maaf, ya, lama. Diminum dulu, Mbak."

Buset, gue nggak dibikinin minuman juga. Padahal yang sedang mengalami kehausan akut adalah gue. Dira kembali hanya dengan membawa satu cangkir teh hangat, yang langsung disambut Kaluna ramah.

"Toko bunganya cantik. Konsepnya kayak book cafe, tapi ini florist." Kaluna menyebar pandangannya ke seluruh interior ruangan. Ketika gue yang dia lihat, senyum mengerikan itu muncul lagi.

"Terima kasih. Memang ada, sih, rencana bikin cafe juga, tapi belum tahu kapan." Dira menimpali antusias.

"Ooo sudah ada rencana?"

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang