7. "Kamu di mana sekarang, Kal?"

83 11 4
                                    

Baskara

Pernah suatu saat, dalam rangka menyibukkan diri, gue yang jarang banget ke toko buku ini mendadak ke sana. Don't get me wrong. I do like reading. I even have the top three. Ada The Muqaddimah karya Ibnu Khaldun, yang makin membuat gue yakin kalau orang zaman dulu lebih cerdas daripada kita. Bayangkan di tahun 1377, ada orang secerdas itu yang sudah membahas sosiologi, demografi, dan sejarah budaya. Sesuai namanya, buku ini adalah pembuka dari buku-buku selanjutnya yang menjelaskan tentang sejarah dunia, baik dari bangsa Arab atau pun bangsa non-Arab.

Gue juga suka dengan Genom yang ditulis Matt Ridley. Ada satu kalimat dia yang membuat gue bangga gue bisa terlahir di dunia, "The influence upon our intelligence of events that happened in the womb is three times as great as anything our parents did to us after our birth". Betapa sayangnya Tuhan ke gue bahkan ketika masih berbentuk zigot.

Pernah juga gue berharap bisa lihai menilai orang lain dengan membaca Mendeteksi Kebohongan yang langsung ditulis oleh Human Lie Detector-nya Indonesia, Handoko Gani. Uniknya kata si penulis, mereka yang berprofesi sebagai lie detector, biasanya untuk kepentingan penyidikan kasus kriminal perdata atau pun pidana, justru takut bohong, karena otaknya sudah dipenuhi teori-teori kebohongan.

Biasanya gue cukup berpuas diri membaca buku-buku itu versi e-book, karena lebih praktis, nggak perlu repot harus menyimpan di mana kalau sudah selesai dibaca. Tinggal di simpan di Clouds, beres.

Khusus hari itu gue menghadirkan diri ke toko buku untuk langsung melihat-lihat mana yang menarik. Sama dengan keabnormalan gue mendatangi toko buku, yang gue gotong ke kasir adalah novel dari Ika Natassa, The Architecture of Love. Ke-mendadak-kan gue yang lain yaitu ingin baca fiksi romansa. Seringnya orang patah hati memang sekonyol itu.

Namun, di luar prediksi, ternyata gue cukup menikmati membaca karya fiksi, at least her work. Yang paling gue ingat dalam novel itu, Ika Natassa menuliskan, "Setiap gedung punya cerita."

Gedung saja bisa menyimpan banyak sejarah, apalagi manusia yang merancang mereka?

Begitu pun gue. Laki-laki yang di umurnya ke-36 tahun ini masih bisa merasakan patah hati. Laki-laki yang sekarang dengan senang hati mendengarkan seorang perempuan yang tampak luar biasa senang dengan kegiatan barunya. Kaluna, meskipun dia nggak menceritakan banyak tentang Kelas Menulis atau kebisaannya mengolah kata menjadi karya, tapi dari sorot matanya gue tahu dia bangga atas pencapaiannya.

Gue pernah membaca ini, tapi di mana gue lupa, bahwa kebahagiaan itu bisa menular. And yes, I'm happy for her. Gue bisa ikut merasakan betapa akhirnya dia bisa menjadi dirinya sendiri setelah kejadian tak mengenakkan yang harus dia alami. Dari Ibu, gue tahu Kaluna harus rela menanggung sakit hati dan malu setelah pernikahannya batal hanya tiga hari sebelum hari-H. Dan menurut cerita dari Ibu juga, calon suaminya malah main dengan mantannya. Apa istilahnya anak zaman sekarang? Jatah mantan?

Sinting.

Sebenarnya, gue nggak ada harapan apa-apa dengan perjodohan ini. Pasrah, setelah melihat dengan mata kepala sendiri bahwa Dira sudah sangat tenang, bahkan bahagia dengan keadaannya sekarang. Mungkin terkesan atas dasar emosi gue mau datang ke rumah Kaluna kemarin, tapi gue betul-betul berniat moving on, kalaupun gue dan Kaluna hanya cocok berteman, nggak masalah sama sekali. Jadi, inilah yang bisa gue lakukan. Mengusahakan yang terbaik, karena gue tahu yang sedang gue usahakan juga orang baik. Pamali menolak kebaikan, gitu, kan?

Bahkan cincin nikahnya pun sudah gue beli, berbekal ingatan bagaimana proporsi tubuh Kaluna, gue beranikan diri ke toko super shining, shimmering, splendid itu. Lagi-lagi ini juga cuma rencana gue, kalau dia mau, Alhamdulillah, kalau nggak, ya, berarti bukan jodoh. Sesederhana itu.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang