12. "Jangan sembarangan nuduh."

58 5 0
                                    

Kaluna

"Ujiannya cewek ada di telinga. Ujiannya cowok ada di mata. That's why, babe, we'd love to be appreciated about our physical appearance, and so on and so on. Dan, cowok gampang teralihkan sama visual cewek lain. Ya, gimana, ya. Mereka makhluk visual."

Ada beberapa hari di antara ke-hectic-an persiapan pernikahan ini, aku menyempatkan diri untuk me time. Memberi kesempatan Baskara juga untuk mengurusi apa yang dia rasa perlu diurus. Kerjaannya, misalnya. Bagiku me time bisa dengan strolling at the book store, atau having a chill chit chat with this Gemblung girl. Seperti sekarang, dengan topik kehadiran Erik, dan hasil cek kontrakan tiga hari lalu.

Sandra menyendokkan suapan terakhir es telernya ke dalam mulut, kemudian bangkit dari duduknya menuju dapur. "Tanteee, enak banget esnya. Saya boleh bawa pulang sebungkus nanti?"

"Ngapain bawa pulang kok sebungkus? Bawa sekalian satu baskom."

Sandra tergelak. Mama tertawa.

Aku yang masih duduk sambil memangku laptop di ruang tamu, tersenyum lebar mendengar kekisruhan di dapur. Mama pernah bilang kalau sahabatku sejak SMA itu anak keduanya, tapi beda rahim, beda bapak. Itulah kenapa beliau pun bersikap santai layaknya menanggapi anak sendiri. Sandra pun dengan senang hati menerima perlakuan Mama, walaupun masih sering kena tabok kalau sikapnya kelewatan menurut Mama.

"Our parents won't be able to handle us, deh, kayaknya, ya, Kal. Makanya nggak dijadiin sekandung kita," kata Sandra suatu hari ketika dia menginap di rumah di tengah masa-masa puyeng menyusun skripsi. Ucapan yang sangat aku setujui. Kalau aku pernah disebut nggak ada anggun-anggunnya jadi cewek, bagaimana Mama akan menyebut Sandra yang head to toe is high maintenance itu?

"Es teler Nyokap lo ini bakal ada di prasmanannya, nggak?" Sandra sudah kembali dengan membawa segelas lagi berisi es teler buatan Mama. Siang ini Jakarta memang gila-gilaan panasnya. Terasa dingin selesai Subuh tadi, setelahnya terasa dipanggang matahari.

"Kalau ada, bahaya. Lo doang yang ngabisin."

"Nggak, dong. Gue bawa sepanci-pancinya."

Aku menggeleng-geleng sambil tetap berusah menulis. Sore ini aku harus menyerahkan naskahku.

"Jadi, nggak lo gebukin si Erik? Atau minimal Baskara tawuran sama Erik?"

"Apaan?"

"Kayak di drama Korea gitu, lho, babe. Lo diperebutkan."

"Udah sinting." Kulempar bantal kursi ke pangkuan Sandra sambil tertawa.

"Ada kemungkinan juga Baskara mendadak reuni sama mantannya, tuh. Kalau kata teman-teman kantor gue yang udah pada nikah, sewaktu proses persiapan begini ujiannya sedahsyat itu memang. Adaaa aja yang bikin lo tiba-tiba nggak sreg sama calon lo. Mendadak mantan lo jadi kayak malaikat kesasar lah. Mendadak jadi superhero yang habis menyelamatkan dunia lah."

"Ya, udah, sih, kalau pun sampe kejadian lagi yang kedua kalinya kayak kemarin, fix gue nggak bakal mau nikah seumur hidup."

"Heh!" Sandra melempar balik bantal kursi tadi ke arahku. "Ati-ati kalau ngomong. Ucapan itu doa."

"Bukannya mau doa aneh-aneh, San. Gue cuma sudah berada di titik pasrah sepasrah-pasrahnya sama takdir. Usaha gue cuma sebatas ini."

Sandra menatapku tajam. Mulutnya terdiam dari mengunyah isian es telernya.

"Pasrah, tapi tetap melakukan yang terbaik. Gitu, lho, San. Serem amat mata lo."

"Setuju." Sandra fokus ke es telernya lagi. "Eh, lo nulis ini nggak ada liburnya, ya? Sabtu pun buka kantornya? Kalau Minggu?"

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang