9. "Kalau sama yang kasih cincin, suka?"

69 8 26
                                    

Kaluna

"Sudah main jemput-jemput ke rumah, nih. Perkembangan pesat, ya, bund?"

Sandra yang sedang lunch seketika mengajak Face Time begitu aku ceritakan bagaimana obrolanku dan Baskara semalam. Sibuk mengunyah saladnya, Sandra masih bisa mengerling-ngerling jail.

"Bosen nggak, sih, sok tarik-ulur, lempar jokes receh, flirting with each other di umur segini? Capek, ah, San." Sementara aku, sibuk menyiapkan barang-barang yang akan kubawa ke kelas nanti. Berhubung Baskara yang akan mengantar seperti janjinya semalam, perlengkapan yang biasanya bisa kuletakkan sembarangan di dalam mobil, perlu kutata ulang ke dalam ransel.

"Kalau partner-nya model Mas Baskara, sih, males banget mau tarik-ulur. Gas aja. Ya, kan?"

"Itu, sih, mau lo aja."

Sandra tegelak. "Eh, tapi, feeling gue kali ini bagus, nih, Kal. Serius."

"Lo nyambi jadi cenayang? Main feeling-feeling-an," sahutku sambil menge-print hasil naskah bab 1 yang kukerjakan secara begadang juga.

"Feeling sahabat yang baik dan tidak sombong selalu benar, lho." Sandra menyuapkan lagi saladnya, lantas kembali menimpali, "Gue belum pernah ketemu orangnya langsung, tapi kalau dari cerita, dan texting-nya sih, ganteng luar-dalam dia."

Kali ini aku yang tertawa. Istilah ajaib ala Sandra muncul lagi. "Lo perlu ketemu dia, sih, bund. Biar sekalian kasih penilaian secara objektif."

"Boleh. Tapi, malam ini bukannya kalian berdua mau kencan? Jadi setan dong gue?"

"Kencan apaan?"

"Eh, itu tuh jatuh kertas lo!" seru Sandra, kaget melihat ada kertas yang jatuh dari tanganku. "Dia mau bawa lo ke suatu tempat yang magical, kan?"

"Oh, itu. Iya. Apa?"

Sandra diam dengan ekspresi sejuta makna. Gerakan kunyahannya dibuat sedramatis mungkin, membuatku menyentil kamera.

"You're not thinking what I'm thinking, babe?"

"No. At. All."

"Don't forget the con-"

"SABLENG! Denger, ya, nggak ada begitu-begituan?"

Sandra terbahak melihatku panik mencoba menyela kalimat nggak warasnya.

Pertanyaan terbesarku sampai sekarang, bagaimana bisa aku dan Sandra yang beda karakter ini bisa betah satu sama lain.

"Ngomong-ngomong, lo jadi nerbitin novel?"

"Sepertinya iya, tapi gue harus betul-betul hemat. Jangan ajak gue ke tempat yang pricey dulu, ya. Nggak sanggup gue."

"Ih, sahabat gue bakal jadi penulis! I'm so proud of you!"

Aku tersenyum. "Doakan, ya, San."

"Pasti. Genre yang lo tulis bukan teenlit, kan? Cuma mengingatkan you've got a ton of experience."

Obrolan yang sisanya makin liar ke mana-mana itu selesai setelah jam makan siang Sandra hampir selesai. Tinggal aku yang masih riwa-riwi kamar-mobil untuk mengambil barang.

"Kamu itu, makanya Kal, naruh barang itu yang primpen, gitu, lho. Segala ditaruh sembarangan. Repot jadinya, kan? Nanti Baskara pake mobilnya sendiri, kan? Kalau pake mobilmu, cuci dulu. Malu, masa anak perempuan mobilnya macem bak sampah gitu. Heran Mamanya." Mama merepet ketika tahu aku keluar-masuk kamar mengambil barang dari mobil.

"Iya, Mama, pake mobilnya Baskara," jawabku cepat.

"Mas Baskara. Lebih tua dua tahun dari kamu. Nggak sopan panggil nama aja."

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang