5. "Bukannya lo sudah punya anak-istri?!"

80 11 8
                                    

Kaluna

"Kelasnya tiap sore jam empat. Nanti Kakak langsung saja datang ke kantor."

Aku menganggukan kepala, "Di setiap hari itu harus mengumpulkan naskah?"

"Kalau Kakak menulis novel, berarti yang dikumpulkan adalah per satu babnya. Kalau yang Kakak tulis adalah cerpen, Kakak wajib setor satu jcerita."

Mataku memandang halaman lewat jendela kamarku yang terbuka. Tampak Mama sibuk mengatur tanaman hiasnya sambil dibantu Papa. Seisi rumah hari ini sibuk, apalagi Mama. Seperti yang sudah dijadwalkan, hari ini akan ada teman Mama yang berkunjung beserta anaknya yang kata Mama ganteng banget itu.

"Umurnya selisih dua tahun sama kamu, Kal. Mama sudah ada ini fotonya, tapi biar kamu lihat sendiri langsung besok," kata Mama kemarin sepulangku dari luar bersama Sandra. Maksudnya mencoba menarik rasa penasaranku, tapi aku sendiri bahkan tidak peduli. Seharusnya Mama juga Papa paham kalau aku belum bisa terbuka dengan kehadiran orang baru. Seharusnya.

"Bagaimana, Kak? Ada lagi yang perlu saya bantu?"

Aku terkesiap. Sekian menit aku lupa kalau sambungan teleponku dengan customer service penerbit masih tersambung. Apa tadi yang dia bilang? Duh, Kaluna!

"Maaf, Mbak, tadi sinyalnya agak error. Suara Mbak kurang jelas." Kugigit bibir bawahku setelah menjelaskan alasan penuh kebohongan itu.

"Ooo, baik. Jadi begini, Kak, setiap hari semua peserta wajib mengumpulkan satu bab novel atau satu cerpen dari kumcer."

"Oh gitu, ya?"

Setelah tadi pikiranku terbagi dengan si anak teman Mama yang masih misterius itu, sekarang aku jadi bimbang ikut Kelas Menulis ini atau tidak. Can you imagine writing a story every single day? Buatku yang dapat wangsit jalur untung-untungan ini, tidak bisa membayangkannya.

"Kalau misalnya ada satu hari bolong nggak mengumpulkan naskah, gimana?" tanyaku ragu.

"Dihitung absen, Kak. Karena ini programnya menulis dalam waktu tiga puluh hari, jadi kalau ada satu hari yang tidak mengumpulkan, maka wajib mengumpulkan dua naskah di hari berikutnya. Jadinya rapel, ya, Kak."

Mataku sepenuhnya terbuka lebar mendengar ketentuan menohok barusan. Satu bab atau satu cerita saja belum tentu bisa kutulis dalam waktu satu hari, ini harus dua cerita kalau aku bolos. Ini konsepnya kerja paksa, kurasa.

"Di tiap hari Jumat-nya, nanti Kakak dapat feedback dari mentor tentang tulisan Kakak," tambah si customer service makin membuatku merinding. Selama ini menulis masih jadi sekedar hobi mengisi waktu atau penyalur stresku. Pernah aku coba kirim naskah ke beberapa penerbit, tapi tidak pernah sekali pun yang memberi respon seperti yang kuharapkan. Tiap kali membuka email dari suatu penerbit, pasti kalimat pembukanya ucapan maaf.

"Ooo. Iya, deh, Mbak, segitu dulu yang saya tanyakan. Nanti kalau saya mau daftar langsung ke kantor, kan?"

"Betul, Kak."

Aku merebahkan diri di atas kasur setelah sambungan selesai. Kenapa tidak ada yang normal-normal saja dalam hidupku beberapa hari terakhir? Gagal nikah. Sudah terlanjur resign karena maunya jadi full-time wife. Sekarang malah jadi pengangguran. Jadi job seeker lagi. Mau ikut kelas menulis supaya ada kegiatan berfaedah, kok malah jadi kerja rodi.

Kutatap langit-langit kamar. Bayangan bagaimana hidupku selama dua bulan ini terpampang seolah mengejek. Makanya, Kal, kalau punya rencana itu, harus punya back up plan. Kalau cinta sama orang itu, jangan langsung percaya hidup-mati sama dia.

Jika saja merutuki diri sendiri bisa membuatku ketiban uang segepok-gepok, pasti aku sudah jadi crazy rich sekarang.

Masih berusaha mengais-ngais keuntungan, aku raih lagi ponselku dan mengecek email. Who knows I've got a love letter with the "Hi, Kaluna. We're happy to say you've passed the test", kan? Tes apaan, panggilan interview saja tidak ada.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang