Kaluna
"It might be strange to start a story with an ending. But all endings are also beginnings. We just don't know it at the time."
Begitu kata Mitch Albom di The Five People You Meet in Heaven-nya.
Aku ingat bagaimana saat kali pertama membaca novelnya ini. Waktu itu dalam keadaan capek luar biasa setelah lembur tiga hari berturut-turut, aku merasa deserve the best healing. Dan Erik tahu betul apa the best healing untukku. Jadilah dia meluangkan waktunya sore itu datang ke rumahku.
"Kal, aku nggak ngerti sama novel mana yang bagus, mana yang nggak. Tapi ini aku dapet nemu dari Goodreads, katanya bagus. Novel lawas sih, 2003 gitu. Biasanya yang lawas-lawas gitu lebih bagus, kan? Eh, iya, nggak?"
Erik dengan rambut lepeknya baru pulang ngantor, kemejanya yang juga sudah kusut di beberapa bagian itu, menyodorkanku sebuah paket.
Otakku juga masih jelas merekam bagaimana sikapku ketika dia mempresentasikan hasil temuannya itu. Senyum. Mataku fokus pada kedua matanya. Dan tanganku yang kutahan-tahan untuk tidak merangkulnya saat itu juga, karena waktu itu kami duduk di ruang tamu rumah orangtuaku. Berpelukan di situ bukan hal yang menyenangkan.
"Kamu nggak beli yang English version, kan?" Tanganku sibuk membolak-balik paket buku tersebut. Tak kudapati label pengirimannya. "Right? Erik?"
Erik hanya mengulum senyum, membiarkanku menuntaskan kegiatan membuka book mail itu. Tepat setelah penampakkan cover-nya mengintip, refleks kucubit lengannya.
"Kenapa nggak e-book aja, sih, Rik? Pasti mahal, kan?"
Mataku makin membola ketika si buku sepenuhnya terlepas dari bungkusannya. Cover berwarna kuning muda dan kombinasi merah maroon itu memamerkan judulnya beserta nama penulisnya.
"Ya, kan, kamu sendiri yang bilang kamu nggak bisa pelit kalau sama buku."
"Iya, itu aku, Rik. Katanya mau nabung buat nikahan, gimana, sih?" sambarku masih bersungut-sungut. Erik hanya tertawa.
"Nabung buat nikahan itu buat kita berdua, kalau yang ini khusus buat kamu. Boleh, kan?"
Aku membuang napas kasar. Kulirik jam dinding yang berhari-hari ini jadi musik pengiring hidupku. Sementara tubuhku masih betah gegoleran di atas kasur sambil men-scroll layar ponsel menonton video acak di TikTok. Sedangkan otakku masih suka memutar ulang semua kenangan bersama Erik, seperti kaset rusak. Sangat tidak produktif.
Mama sudah berulang kali memintaku untuk ke luar rumah, walau cuma sekedar belanja gula di warung sebelah.
Yang tidak Mama ketahui adalah, aku pernah sekali mencoba ke luar, membuang sampah ke bak di depan rumah. Lalu, lewat beberapa ibu-ibu kompleks yang kebetulan pulang belanja di tukang sayur keliling. Sapaan ramah pun kulontarkan, begitu pula sebaliknya. Tidak ada hal yang mengerikan, sampai saat aku baru melangkah masuk setelah menutup pagar, suara mereka bisa kudengar.
"Kasihan, ya, udah tinggal tiga hari nikah. Eh, calonnya selingkuh."
"Pentingnya memilah jodoh sesuai bibit-bebet-bobot, ya, begitu itu."
"Tapi, calonnya memang ganteng, lho."
Komentar yang terakhir itu tidak nyambung sama sekali. Lantas kalau Erik ganteng, boleh dia mengkhianatiku?
Sejak itu, aku tidak punya niatan untuk menunjukkan diri sedikit pun di luar rumah, meskipun cuma di teras.
Kurasa ibu-ibu di sini tidak kenal dengan jargon 'women support women'.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]
Romance[ATTENTION! Novel ini adalah spin off "Pintu Merah Jambu", dan hanya tersedia sampai Bab 28 di Wattpad, ya. Versi lengkapnya ada di versi novel cetak. Kalau ada yang berminat beli, boleh drop comment aja. Selamat membaca 🫰🏻☺️] ...