27. "Aku selalu sayang kamu."

88 5 8
                                    

Baskara

Langit sore yang tadinya berhias semburat jingga, pelan-pelan mulai tertutupi gelapnya malam. Sesak dengan udara AC mobil, gue buka jendela. Angin dingin bercampur asap knalpot mulai mengelus-elus kulit wajah.

Sama sekali nggak estetik, kalau kata anak zaman sekarang. Biarpun wajah Jakarta nggak melulu estetik, biarpun bau knalpot selalu jadi aroma penyedap udaranya, dan biarpun nggak ada hari libur untuk kemacetannya yang membandel, gue tetap suka kota ini.

Suka dengan segala kesemrawutannya; seenggaknya kalau hari gue berantakan masih ada yang lebih parah dari itu. Suka dengan segala drama di tiap sudut kotanya; gue nggak akan merasa sepi dengan rusuhnya drama hidup sendiri. Suka dengan ketimpangan nasib warganya; dengan begitu peluang gue untuk berbagi masih terbuka lebar.

Hanya di kota ini. Cukup di kota ini.

Dan, gue mau di kota ini gue bisa membangun sebuah keluarga kecil. Hari ini, dengan tenaga yang masih ada biar pun sakit kepala masih terasa, gue menyusuri jalanan sambil terus mencoba menghubungi Kaluna.

Nihil. Nihil. Nihil.

Suara operator adalah satu-satunya suara yang menyambut telepon gue tiap kali nomor Kaluna yang gue tuju.

Gue jadi ingat, Kaluna pernah bilang nanti kalau sudah sah menikah, dia punya wishlist keliling Jakarta sampai larut malam.

"Kalau aku, ya, daripada habisin uang buat honeymoon ke Bali atau apalah, aku lebih kepengin keliling Jakarta. Nonton di jadwal yang paling malam. Terus baliknya nggak ke rumah, tapi nginep di homestay mana gitu. Nyobain jajanan malamnya Jakarta sampe bega," kata Kaluna di sini, di dalam mobil ini.

Gue tersenyum, takjub mendengar keinginan random-nya. "Sebelumnya nggak pernah begitu?"

"Heh! Saya anak baik-baik, ya, Mas." Kaluna mendelik protes.

"Sama, Mbak. Saya juga mas-mas baik. Jadi, mau ala-ala anak nakal pulang malam, sebelumnya check in kamar?"

"Nah. Tapi yang versi halal."

"Memangnya sekarang aku haram?" tanya gue pura-pura shock.

"Iya, haram. Haram diambil yang lain."

Gue tertawa.

Sekarang kamunya yang ilang begini, Kal. Katanya mau keliling Jakarta sampai begah. Ini jadi aku sendirian yang keliling kota nyariin kamu. Sampai begah.

Tepat ketika gue berhenti di lampu merah, mobil di sisi kanan gue menurunkan kaca jendelanya. Persis seperti adegan di film-film romance kesukaan Kaluna, gue pun terdiam melihat siapa yang duduk di bangku penumpang depan itu. Sampai sulit gue mencerna kenyataan.

Kamu sama siapa itu, Kaluna?

💍

Kaluna

Tiap individu punya masalah. Tiap individu pasti bermasa lalu. Tiap individu pun punya masalah di masa lalunya. Yang membedakan satu individu dengan yang lain menyangkut masa lalu adalah seberapa bisa mereka menjadikan masa lalu hanya sekedar kenangan, pelajaran, dan pengalaman, yang sudah tak perlu diungkit-ungkit lagi di masa depannya. Atau kalau memang perlu diungkit, tidak lebih dari sekedar pengingat bahwa kejadian itu pernah ada, sebatas jadi reminder that we're just a human with billions of memories.

Baskara punya masa lalu. Aku juga punya. Bolehkah saling membandingkan masa lalu mana yang paling pelik, yang paling menyayat hati, yang paling bikin gila? Etis kah?

Tentu tidak.

Sejak aku setuju perjodohan ini berlanjut sampai ke tahap persiapan pernikahan, aku sudah sepenuhnya siap melepas semua masalah dengan Erik. Sudah tidak peduli mau seperti apa kemunculan Erik nantinya di hidupku, tidak akan mengubah pilihanku atas Baskara.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang