Kaluna
Sejak kuliah, aku sudah terbiasa dengan sistem pilih-pilih teman. Sekali aku tahu ada seorang teman bersikap kurang menyenangkan, pelan tapi pasti aku akan menghindar di hari-hari berikutnya. Menghindar dengan cara tidak terlalu banyak mengobrol kalau bukan urusan yang memang melibatkan kami. Terdengar tidak baik, ya? Yet, I did it on purpose.
Fokusku ketika kuliah adalah surrounded myself with the right people. Mungkin karena sudah puas haha-hihi ria di SMP dan SMA tanpa memikirkan sekolah dengan serius, ketika kuliah aku merasa perlu mengubah kebiasaan itu. And it works! Masa kuliahku benar-benar kondusif. Lurus-lurus saja.
Terkadang untuk meminimalisir stres adalah dengan membuang atau menjauhi hal yang jadi penyebab stres itu sendiri. Bagiku tidak semuanya harus dihadapi untuk bisa diselesaikan. Manusia juga berhak memilih jalan mana yang mau dia pilih perihal kenyamanan hidupnya. Dengan membiarkan penyebab stres tanpa mendekati, misalnya. Masalah risiko, ya, ditanggung sendiri-sendiri.
Begitu yang kuyakini selama empat tahun menjalani kuliah, sampai disebut sebagai kupu-kupu malam sejati.
Kuliah-pulang, kuliah-pulang.
Whatever. Belum tentu yang menyebutku begitu sudah punya kehidupan lebih baik daripada aku sekarang.
Tapi, sistem cutt-off yang kuaplikasikan selama kuliah itu, tidak bisa kupakai lagi ketika berhadapan dengan Baskara.
Aku tidak menyangkal semua perasaan menyesakkan ketika harus berpura-pura jadi istri yang perhatian ke suami di depan orangtua Baskara. Tidak bisa kupungkiri kalau aku marah sampai ingin rasanya kabur detik itu juga ketika obrolan tentang anak mencuat. Dan, tak bisa kuhindari luapan emosi ketika Baskara mendekapku erat seperti sekarang.
Marah, muak, jengah, capek, kecewa, semua yang sudah terkumpul lama sejak pernikahan kami dimulai, seketika luruh dengan belaian halusnya di kepalaku.
"Maaf, Kaluna. Maafin aku."
Aku pegang kuat-kuat kaos belakangnya, mencoba menahan diri tidak lepas kendali. Masih sangat terasa sakitnya diperlakukan seolah hanya status di atas kertas.
"Aku butuh kamu, Kal. Aku mau kamu."
Wangi tubuh Baskara yang selama ini hanya tercium dari jarak beberapa centimeter, kini bisa kuhirup sedekat ini dengan wajahku terbenam di pelukannya.
Perlahan, Baskara merenggangkan kuncian lengannya di tubuhku. Dipegangnya kedua pundakku, aku masih menunduk. Sibuk dengan isakan yang tidak kunjung selesai.
Sedetik kemudian, jarinya mengusap pipiku yang sudah basah. Gemetar.
Kuberanikan diri menatap matanya. Siapa sebenarnya di sini yang takut melangkah?
"Aku sayang kamu." Sekarang getar itu juga sudah menjalari pita suaranya. Baskara membalas tatapanku dalam. Dengan gerakan lambat, dia mendekatkan wajahnya. Hembusan napasnya menyentuh kulit wajahku.
Kalau aku mau, bisa saja aku menghindar. Sekali lagi, sistem tebang-pilih itu tidak berlaku jika masalahnya dengan Baskara. Setidaknya sampai detik ini, aku belum bisa.
He kisses me. I kiss him. This is our first kiss finally. Everything flows smoothly. Tidak ada paksaan. Tidak ada tuntutan. Kami hanya saling memberi seakan memang saling membutuhkan. Apa adanya.
"I love you," ucapku di sela ciuman lembutnya. Baskara tersenyum, lalu mengangkat tubuhku ke pelukannya yang lebih dalam.
Resmi sudah mulai malam ini, aku makin tidak bisa melepaskan diri dari perasaan ingin memiliki dia. Cuma dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]
Romance[ATTENTION! Novel ini adalah spin off "Pintu Merah Jambu", dan hanya tersedia sampai Bab 28 di Wattpad, ya. Versi lengkapnya ada di versi novel cetak. Kalau ada yang berminat beli, boleh drop comment aja. Selamat membaca 🫰🏻☺️] ...