10. "Apa kabar, Kal?"

49 8 14
                                    

Kaluna

"No waaay! It isn't a joke, is it?"

Aku terpaksa mengecilkan volume ponsel karena suara teriakan Sandra tembus sampai ke ruang tengah. Di sana masih ada Mama dan Papa yang menelepon keluarga Baskara.

Malam ini meriah sekali di rumah, setelah mengantarku kembali, Baskara tidak langsung pulang. Dia menyempatkan diri berbicara dengan Papa. Obrolan lebih jauh tentang keputusan mengenai hubungan kami. Sementara Mama memelukku erat begitu melihat cincin cantik yang sudah melingkar di jari manisku.

"Kaluna Adityawarman, tolong jangan bercanda tengah malem begini, babe. Pusing gue."

"Ya sudah kalau pusing, besok aja kalau ketemu gue ceritain."

"Heh!"

Aku tertawa. Sandra melotot, dia mengubah posisi duduknya jadi tegak tanpa bersendar di dinding tempat tidurnya, seperti yang dia lakukan di awal Face Time tadi.

"Belum juga gue ketemu orangnya, udah main lamar aja. Di mana? Nggak di parkiran kantor Edward, kan?"

"Di parkiran Nasi Goreng Apjay, abis makan nasi goreng."

Sandra melihatku jengah. "Di mana, gue tanya serius? Di rumah?"

"Di parkiran Nasi Goreng Apjay, abis makan nasi goreng ayam bumbu kebuli. Dia makan yang kambing."

Beberapa detik Sandra tidak merespon jawabanku, aku pun tidak menambahi kalimat satu pun di jawabanku. Sampai akhirnya dia sekali lagi menutup mulut, mencoba meredam histerisnya sendiri.

"No waaay?! Kal? Segampang itu lo dilamar di parkirannya Apjay? Astaga. Gue ke sana sekarang."

"Ke Nasi Goreng Apjay?"

"Iya, biar dilamar abangnya. Ya, ke rumah lo lah! Tell me the details."

"Nggak usah, woy! Meskipun gue juga maunya lo di sini biar enak ceritanya, tapi, besok aja." Aku terbahak, tapi tetap jail menunjuk-nunjukkan cincin solitaire ke kamera.

"Astaga Baskara, tuh cowok, ya."

Pekikan dan gelengan kepala Sandra makin lama, makin brutal setelah kuceritakan detail proses proposing terkonyol itu. Baskara menyimpan kotak cincin di laci dasbor. Ya, pemirsa, di laci dasbor.

"Kamu taruh barang mahal gini di sini?" tanyaku semalam dalam perjalanan pulang. Baskara menoleh, senyum yang awalnya kuhapal dengan aura memikat, berubah jadi senyum jail. Seberubah ini sudah, ya?

"Jaga-jaga. Mana tau timing-nya pas, jadi bisa langsung kasih."

"Timing? Bentar, berarti ini sudah sejak kapan kamu simpan di laci?" Suaraku makin meninggi. Panik, membayangkan cincin yang aku tahu tidak mungkin berharga murah itu diletakkan begitu saja di dalam laci mobil.

Baskara terkekeh. "Sejak hari pertama kita ketemu. Waktu kamu nuduh aku sudah punya istri dan anak."

"Stop! I don't wanna hear it."

Baskara tertawa. What can I say? Tawanya lebih luwes. Senyumnya lebih lepas. Everything about him last night was more natural, and I liked it.

"Jadi kamu beli ini sejak hari pertama itu?"

"Malamnya, lebih tepatnya."

"Kok bisa? Sesuka itu sama aku?"

"Iya. Kamu pake pelet apa? Topcer banget efeknya."

"Heh!"

Sesuai rencana, kemarin Baskara menjemputku setelah kelas. Dia juga mengajakku ke Gramedia, tempat yang katanya jadi tempat favoritnya belakangan ini. Kenyataan bahwa dia mengajakku ke toko buku adalah sesuatu yang membuatku sempat kehabisan kata.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang