Kaluna
Dari apa yang sudah terjadi beberapa waktu dalam hidupku, aku mulai menemukan dua kesimpulan penting.
First, Baskara ain't Dira over yet. I definitely can't compete in that situation. Bagaimana nantinya aku juga belum paham. Segala kemungkinan buruk sudah bermunculan di otak, tapi aku masih mau berharap. Sedikit.
Ironic? Yes.
Second, I have two new habits! Should I write it down in my CV? Ketika permasalahannya dengan Erik, aku menemukan bahwa berkeliling di toko buku bukan lagi sekedar ritual mencari wangsit untuk menulis, tapi terapiku juga supaya bisa lebih tenang dan kalem menghadapi fakta buruk mengenai hubunganku dan Erik. Lalu, ketika drama hidupku sekarang beralih dengan Baskara, aku mendapati bahwa selain jadi rajin kena migrain, aku jadi doyan menyemili Yupi.
Pagi ini, kebiasaan baruku itu makin terasa. Aku melipir ke pantry untuk memakan Yupi yang entah mulai kapan selalu kusiapkan di tas, dan dipergoki Sanjaya. Dari semua orang di kantor kenapa harus laki-laki berwajah jutek dengan senyum tengil ini yang melihatku menggigiti Yupi Cacing Neon?
"Dulu, waktu masih kecil gue suka sama yang varian hamburger, Kal. Tahu, kan, lo, yang disa dipotek satu-satu itu?"
Aku perhatikan side profile Sanjaya. Dia ikut duduk di sebelahku sedang mengunyah Yupi yang kubawa. Tadi ketika dia akhirnya tahu aku sedang menikmati makanan manis itu, tanpa izin dia ikut mengambil dari bungkusannya di tanganku.
"Iya, gue pikir yang warna merah sama yang warna hijaunya itu bisa dilepas juga, ternyata nggak, kan?" sahutku kemudian.
"That's it. Pertama kalinya gue merasa di-prank adalah ketika gue makan Yupi hamburger. Sudah gitu, tiap bagian rasanya sama, kan?"
Aku melebarkan mata. "Eh, masa? Bukannya beda?"
Sanjaya menoleh. Ekspresi protesnya seketika terbaca. "Sama, Kal. Eh, atau lidah gue yang waktu kecil belum berfungsi sempurna?"
Aku tertawa.
Tawa pertamaku sejak kejadian semalam. Kejadian memalukanku yang sudah tak terhitung keberapa kalinya
Our first kiss last night? Oh, my mistake, there's no "us" in that home.
Kurang beruntung apa Baskara itu mendapatkanku yang rela malu demi membuka permulaan? Dan, kurang sial apa hidupku ketika dengan percaya dirinya memberikan sesuatu yang berharga pada laki-laki yang dianggap suami sendiri, tapi malah tidak mendapat respon selayaknya?
Come on, everybody knows how it should be!
Tapi, Baskara semalam hanya diam, sampai akhirnya aku yang menyudahinya. Tanpa balasan. Tanpa perasaan.
Laki-laki itu cuma menunduk setelahnya, dan bilang, "Sori, Kal."
Sumpah-serapah sudah berkumpul di ujung tenggorokan, siap meluncur tanpa hambatan. Tapi, apa, sih, yang bisa dilakukan perempuan kalau sudah dihadapkan sama perasaannya sendiri? Perempuan dari asalnya sudah tercipta dengan porsi emotional feeling lebih banyak daripada kadar logical thinking-nya. I admit it.
Yang terjadi untuk kesekian kalinya adalah, aku berjalan ke kamar. Menutup dan mengunci pintunya. Menangis sampai migrain. Tertidur dengan perasaan berkecamuk.
Lalu, pagi-pagi sudah berakhir di pantry kantor, nyemilin Yupi.
"Lidah lo, sih, Jay."
Giliran Sanjaya yang tertawa sekarang. "Gue rasa cuma Yupi yang meskipun sudah tahu rasanya sama, tapi tiap makan yang varian hamburger pasti masih membangkitkan keinginan untuk explore potek-poteknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]
Romance[ATTENTION! Novel ini adalah spin off "Pintu Merah Jambu", dan hanya tersedia sampai Bab 28 di Wattpad, ya. Versi lengkapnya ada di versi novel cetak. Kalau ada yang berminat beli, boleh drop comment aja. Selamat membaca 🫰🏻☺️] ...