26. "I'm waiting for her."

63 5 0
                                    

Baskara

"Mas Baskara? Mas? Makan, yuk!"

Gue membuka mata cepat. Di hadapan gue duduk perempuan super cantik dengan rambut dicepol ke atas, sedang menggoyang-goyang badan gue pelan.

"Ayo, makan. Betah banget, sih, tidur mulu. Ayooo!" Sekarang dia mencubit pipi gue gemas. Gue pegang tangannya cepat, dan gue dapati cincinnya sudah dipakai lagi. Gue tatap matanya dalam-dalam.

"Kaluna?"

"Hm? Apa?"

Sudah nggak mampu berkata-kata, gue tarik tangannya supaya lebih mendekat. Kaluna tertawa ketika badannya gue peluk erat, dan keningnya gue ciumi berulang-ulang.

"Mas Baskara, ih. Ayo, sarapan dulu!"

"Aku sarapannya kamu aja, deh. Boleh, ya?"

"Kumat," komennya, tapi tetap mendaratkan ciuman singkat di bibir. "Nah, sudah. Yuk!"

Masih belum puas, gue apit badannya dengan kaki kiri. Menahan dia agar nggak segera beranjak dari kasur, Kaluna bergerak-gerak berusaha lepas sambil sesekali menggelitiki pinggang gue. Sedangkan gue yang sudah terlanjur senang melihat dia bisa semanja ini setelah perdebatan kami kemarin sore, nggak akan melepas dia.

"Jangan pergi lagi, ya, Kal. Aku kangen kamu. Aku kangen semuanya kamu."

Kaluna tersenyum. Mengusap kening gue sebentar. Lalu kami berciuman.

Gila, gue kangen banget sama istri sendiri. Sampai gue nggak rela terbangun dari mimpi terindah di siang bolong ini.

Napas gue terasa berat. Kepala juga masih terasa sedikit pusing. Sudah jam dua siang, dan gue masih mengais-ngais sisa ingatan mimpi tadi sofa depan TV. Sendirian. Kesepian. Dan masih kesakitan.

Meskipun memang masih butuh bantuan orang lain, tapi kemarin pun Dira dan Galih tetap gue minta segera balik ke tokonya. Iya, pacar Dira itu kemarin menyusul nggak lama setelah Kaluna pergi.

Dia datang sambil membawakan handphone gue yang ketinggalan di ruang tamu tadi. Lucky me, gadget itu masih bisa berfungsi, karena memang kebakarannya nggak sampai membesar ke mana-mana. Menurut cerita Galih, rumah masih utuh, hanya area pembuatan tembikar di halaman belakang yang nggak tertolong. Dia juga memberi kabar bahwa penyebab kebakaran di kantor masih diselidiki, meskipun sudah ada kemungkinan karena over heat tungku.

Sumpah, seumur-umur menjalani usaha tembikar ini, gue belum nggak pernah membayangkan tempat pembakaran itu bisa over heat. Gue selalu memastikan kayu bakar yang dipakai nggak terlalu banyak, Pak Imron juga membantu gue dengan selalu mengecek temperaturnya.

Mengingat kejadian itu, kepala gue rasanya mau pecah. Belum lagi mendapati fakta bahwa saat gue butuh, Kaluna justru pergi. Belum sempat gue jelaskan bahwa gue dan Dira sudah nggak ada apa-apa, istri gue itu malah menarik kesimpulan sendiri.

Iya, gue tahu gue memang jahat dari awal nggak tegas dengan perasaan sendiri. Tapi, gue sudah berusaha. Sayangnya, usaha itu yang nggak pernah mau dilihat Kaluna. 

Gue juga nggak yakin Dira nggak mendengar ribut-ribut antara gue dan Kaluna sebelumnya di kamar kami. Kalau pun iya, gue bersyukur dia nggak menyinggung masalah itu sama sekali. Justru sebenarnya gue yang merasa nggak enak hati.

Gue tetap nggak mangkir dari kenyataan bahwa penyebab semuanya adalah gue. Andaikan dari awal gue sudah bisa mengikhlaskan semua yang sudah jadi takdir antara gue dan Dira, kehadiran Kaluna akan sangat bisa gue rayakan dengan suka-cita. Baru bisa mencicipi kebahagiaan, sekarang sudah kembali ke titik nol. Atau mungkin ini minus?

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang