11. "Ayo, kita tuntaskan urusan yang belum selesai ini."

62 7 18
                                    

Baskara

Perpaduan Cumi Lada Garam dan Kopi Djonk di perut serasa bisa membuat gue bertahan hidup beberapa hari ke depan. Kenyang banget.

Oh, jangan lupa! Mie Bebek-nya Kaluna pun gue habiskan karena dia nggak sanggup memakan semuanya.

Setelah tuntas urusan di toilet, gue segera kembali ke meja kami di Teras Dharmawangsa ini. Beruntungnya meskipun tempatnya lumayan dikenal banyak orang, tapi siang ini gue bisa mendapat meja dekat lift jadi suasananya lebih private.

Belum benar-benar sampai di meja, ada seorang laki-laki berdiri di depan Kaluna. Keduanya seperti tampak saling kenal, tapi raut wajah Kaluna nggak ada senyum-senyumnya. Duduknya terlihat menegang.

"Sudah?" gue dekati Kaluna yang masih mematung. Tatapannya seperti siap menghabisi laki-laki itu detik ini juga.

"Permisi, saya sibuk." Tanpa menjawab gue, Kaluna memberesi barang-barang nya dan barang gue ke dalam tasnya dengan gerakan kasar. "Ayo, Mas."

"Kaluna."

Gue persis seperti di tengah kondisi yang membuatku seperti invisible man. Laki-laki yang belum gue tahu siapa ini, sepertinya ingin membicarakan sesuatu, tapi Kaluna melempar tatapan benci. Tatapan seram yang belum pernah gue lihat sebelumnya.

"Saya lagi sibuk. Sudah, ya?" Kaluna menyambar tangan gue cepat.

"Aku cuma mau minta maaf, Kal."

Weh, drama apa lagi ini?

"Maaf, Mas ini siapanya calon istri saya, ya?" tanya gue mencoba menengahi. Genggaman tangan Kaluna makin erat, gue geser posisi berdirinya supaya ada di belakang gue.

"Oh, kamu sudah mau nikah, Kal? Cepat juga kamu move on , ya?"

"Mantan ternyata? I see," sahut gue sengaja nggak memberikan kesempatan Kaluna menyahuti laki-laki tengil ini.

Gue pun sadar, itu dia manusia bejat yang tega merusak kebahagiaan perempuan sebaik Kaluna. "Yuk, Sayang."

Kaluna mengikuti langkah gue menyingkir dari situ. Kali ini tangan gue yang menggenggam tangan kurusnya erat. Sesampainya di dalam mobil, Kaluna masih membisu. Gue diam, memberi dia ruang untuk menenangkan diri. Sampai akhirnya ketika dia mulai membuang napas kasar, gue atur duduk menghadap perempuan ini.

"Minum dulu." Gue bukakan satu botol air mineral yang selalu dia siapkan di dalam mobil. Kaluna mengambilnya, meminumnya lumayan banyak.

"Maaf, jadi kacau situasinya." Kaluna mengusap matanya. Pasti menangis, biarpun berusaha dia tutupi, matanya memang memerah sejak kemunculan manusia tadi.

"Bukan salah kamu." Gue tepuk pelan pundaknya.

"Aku belum pernah cerita soal dia. Mauku emang nggak cerita, nggak penting. Kamu juga pasti sudah tahu dari Ibu, kan? Mama pasti cerita ke beliau soal ...." Kaluna berhenti berbicara. Matanya terpejam sebentar. Napasnya terdengar agak bergetar.

"Iya, aku tahu," sambung gue. Seandainya bisa gue ambil sebagian kecewa yang dia alami, gue rela. Kalau perlu semuanya saja ditumpahkan ke gue.

Hal yang paling gue benci sekarang adalah hilangnya tawa dari seorang Kaluna. Sirnanya senyum di wajahnya.

Kedengaran muluk mungkin, cringe is on the next level, you name it. Tapi, gue tahu apa yang gue rasakan. Gue hanya nggak mau Kaluna sedih lagi, kecewa lagi, patah lagi.

"Mau pulang sekarang atau masih mau ke mana dulu, gitu?"

Kaluna menatapku sebentar. Susah-payah dia mencoba kembali menghadirkan senyum di wajah tirusnya.

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang