13. "Cantik banget, Mbak."

55 6 6
                                    

Baskara

Salah satu kemampuan perempuan yang nggak akan pernah bisa ditandingi laki-laki, menurut gue, adalah being multitasking. Selain mengandung dan melahirkan, pastinya.

Jangankan mengurus banyak hal dalam satu waktu, disuruh mikir banyak hal dalam satu waktu saja, belum tentu gue bisa. Beruntung Kaluna memahami itu. Dia juga memang perlu waktu untuk menyelesaikan naskah final-nya sebelum nanti di-edit lagi oleh pihak penerbit.

Bisa gue bayangkan, Kaluna akan sama dengan Ibu nanti. Walaupun sambil ngomel, tapi rumah beres. Walaupun sambil ngomel, tapi berhasil mendidik anak laki-lakinya ini bisa ikut mengurusi pekerjaan rumah. Gue belum pernah dapat omelan Kaluna, debat-debat kecil, iya. Dari banyak cerita yang pernah gue dengar, persiapan menikah begini memang jadi momen terbukanya sebagian kecil tabiat asli pasangan kita.

For me, Kaluna is tough. Kalau sewatku gue nggak bisa ikut mengurusi sesuatu, dia bisa dengan cepat-tanggap meng-handle sesuatu itu. Gue pun masih takjub kalau membayangkan di sela ke-riweuh-an ini, dia bisa merampungkan naskah novel pertamanya itu. Belum apa-apa, gue sudah merasa bangga. Bangga dengan dia, dan bangga terhadap gue sendiri karena nggak salah pilih calon.

Seminggu lagi gue bakal mempraktikan ijab qabul yang sudah sebulan ini gue hapalkan, terutama pengucapan nama lengkap Kaluna yang agak membuat lidah gue belibet. Dan di waktu yang nggak lama ini, Kaluna masih belum betul-betul memutuskan kontrakan mana yang mau dia pilih. 

"Itu lumayan jauh, lho. Satu jam ke kantormu, empat puluh menitan ke Edward. Cuma bisa bawa satu mobil. Jatuhnya bakal sama aja dengan kalau sewa apartemen sekitar Jakarta Selatan."

Kami sedang di dalam mobil di parkiran Edward. Naskahnya sudah beres hari ini dan barusan dengan sumringah sudah diserahkan ke pimred-nya.

Kaluna membuka handphone, lalu menyerahkan ke gue.

Ternyata dia membuat daftar harga sewa apartemen, sewa kontrakan, lengkap dengan budget bensin dan alokasi waktu.

"Itu setelah aku cek ke web masing-masing apartemen. Ada juga yang aku cek langsung ke lokasinya sama Sandra. Menurutku, ya, lebih hemat kita sewa apartemen, karena sudah nggak perlu urus biaya pindah perabotan lagi, tinggal bawa badan sama baju. Setelahnya pun, nggak bingung sama pembagian bensin dan keperluan lain."

Setahuku sebelum resign, Kaluna memang bekerja di bagian Pemasaran di perusahaan eletronik. Mungkin itulah alasan kenapa dia bisa sedetail ini.

"Apartemen yang sederhana aja, nggak perlu yang gede-gede. Ada yang mulai enam juta per bulan, sudah dua kamar tidur, satu kamar mandi. Space-nya juga nggak terlalu sempit buat keluarga kecil."

"Ini di mana?" tunjuk gue ke salah satu foto apartemen. Iya, ada fotonya juga. Sedetail itu. Sudah kayak presentasi ke bos.  Jujur, penjelasan Kaluna malah membuat gue membyangkan betapa teraturnya hidup gue nanti setelah menikahi dia.

"Yang ini murah, sih. Enam juta sudah dapet dua kamar, tapi management-nya kurang bagus, kalau kata orang-orang. Security-nya juga nggak profesional," jawab Kaluna, lalu dia menggulir ke foto lain. "Yang ini apartemennya Sandra. Di Pejaten. Menurut dia yang sudah lima tahun di situ, everything is good, cuma agak pricey. Sepuluh juta untuk dua kamar. Ya, ada harga, ada barang."

"Kalau dekat Sandra, bisa-bisa kamu lupa kalau sudah punya suami." Gue pasang wajah cemberut.

"Apaan, sih? Nggak bisa jelesnya sama yang lain?" Kaluna menoel lenganku, menahan tawa.

"Di unit berapa dia?"

"Kenapa? Mau kamu samperin?"

"Kalau nanti aku kehilangan istri, bisa langsung cek kamu di sana."

The Wedding Ring [Juara 2 AJ5 by HWC Publisher]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang