1. Awal Mula

221 3 0
                                    

"My goal is to kill you on that day."

"Dancing on your flowing blood."

"Laugh at your family's sadness."

"Ha ha ha ha."

"Your screams make me happy."

"Your death destroys your parents' happiness."

"I'm so happy to see her cry."

"Seeing her suffering."

"They cried and I laughed too."

"Their sadness, happiness in my life."

"Absolute happiness."

Auriesta menyanyikan lagu kebangsaannya, terdengar sumbang namun mengerikan. Nadanya selalu berubah setiap dirinya ia bernyanyi, namun liriknya tetap sama.

Gadis itu tersenyum miring sembari memainkan rambut gadis lainnya yang terduduk tengah menunduk menahan tangis. Semakin si korban menahan isakan, semakin kuat pulq cengkraman tangannya.

"Gue udah bilang sama lo, jangan macem-macem. Gini 'kan jadinya?"

Auriesta menunduk, menyamakan tinggi badannya. Ia mengangkat dagu gadis di depannya dengan telunjuk, mereka berdua saling menatap. Tak lama Auriesta tertawa, lalu kembali menjambak rambut korbannya dan menyepak wajahnya hingga gadis itu terbaring di lantai.

"Gue udah bilang jangan sok jagoan, bangsat! Lo pikir gue bakal diem aja, hah? Sadar diri lo siapa di sini, jangan belagu!"

Brak!

Auriesta kembali menendang tubuh gadis itu. Keadaan Auriesta juga kacau, seragam sekolahnya acak-acakan meski korbannya jauh lebih mengenaskan.

Gadis dengan rambut burgundy dark itu berjalan mengambil gayung hitam yang berisikan air bekas perasan pel. Tanpa membuang waktu ia mencekoki korbannya dengan air pel berwarna keruh itu. Semakin si korban menolak, berteriak, meminta ampun, meminta pertolongan namun ia tetap tak peduli.

"Maafin gue, Rey!"

Brak!

Auriesta melempar gayung itu ke samping, kedua matanya masih menyorot tajam sosok gadis yang terkulai lemah di bawah kakinya. Setelahnya ia tertawa terbahak-bahak, menikmati ekspresi wajah yang sudah membuat perutnya terasa geli.

Tanpa merasa bersalah, ia berjalan ke luar gudang meninggalkan si gadis kuncir dua di dalamnya tanpa meninggalkan kata maaf. Penghujung suara pintu yang sengaja ditutup secara keras, dia menangis tersedu-sedu.

"Sesakit itu hati lo sampai jadi seperti ini, Rey? Kasih tau gue gimana cara ngobatinnya? Jangan kek gini, Rey, gue mohon!"

Terus terisak sampai dadanya terasa sesak. Ada racun di dalam sana, merambat perlahan sampai nanti hanya tertinggal ampas kematian. Jika begitu, ia harap semoga cepat terlaksana. Hidup di dunia menurutnya hanya kesalahan besar yang harus ia terima, lebih baik mati atau mungkin tak terlahir sama sekali.

Pintu kembali terbuka, seonggok daging bernyawa berdiri di tengah-tengah. Kedua matanya membulat lebar dan tak membutuhkan waktu lama langkah lebar itu sudah berada tepat di hadapan gadis itu. Dia menunduk, memeluknya dengan gurat khawatir yang kentara.

"Maafin gue, maafin gue yang selalu telat buat nolong lo," isak gadis berambut sebahu di depannya dengan berderai air mata.

"Gue gak apa-apa, lo jangan khawatir. Lebih baik sekarang bantu ambilkan baju ganti gue di loker. Sementara itu gue pergi ke kamar mandi."

Tak membantah, gadis itu segera bangkit dan melangkah pergi sesuai permintaan sahabatnya. Sedangkan gadis yang sering disapa Zora itu berusaha bangkit juga untuk pergi ke kamar mandi. Ya Tuhan, semua tubuhnya terasa kaku seperti mati rasa.

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang