26. Heart Attack

43 4 0
                                    

"Nah."

Setelah berhasil melepas kaitan helm milik Rey, Irel tersenyum tipis. Kedua tangannya meremat bahu si gadis sembari menunduk guna bisa menatap kedua mata bening yang perlu mendongak pula untuk menatap wajahnya. "Sekarang masuk terus tidur. Terserah besok mau masuk sekolah apa enggak, intinya entar malam lu gua jemput lagi ke samudra."

Rey kikuk sendiri, asli serius deh kenapa Irel mendadak seperti ini? Rey 'kan jadi merasa canggung. Merasa tak enak hati jika harus berulah padahal hidupnya tak pernah disetir siapa pun. Namun kenapa Irel bisa mengendalikan kegilaannya dalam waktu singkat?

"Iya."

Bukan bodoh, tolol, bego, seperti hal biasa yang seringkali ia ucapkan untuk menyahut semua perkataan orang. Kini dengan Irel semuanya berubah total, padahal mereka berdua tidak punya hubungan lebih selain 'sekedar mengenal' namun entahlah dalam beberapa hari ini semuanya terasa dekat terlebih Irel yang kerap kali suka membatasi pergerakannya dan Rey yang tak tahu harus berbuat apa untuk menanggapinya selain menurut saja.

"Gih masuk sana," titahnya sembari mengusak rambutnya gemas dan untungnya Rey menurut dengan tak banyak protes seperti biasanya.

Gadis itu masuk perlahan, sesekali berhenti dan berbalik sebentar hanya untuk melihat Irel yang masih berdiri di depan pagar rumahnya serta mobil Kin yang masih setia menunggu bosnya di sana.

Irel tersenyum lagi, "Masuk."

Setelah pandangannya sudah tak bisa menangkap keberadaan Rey lagi, senyum pemuda itu luntur seketika.

"Permisi, Den. Ijin tutup gerbangnya ya," ujar satpam keluarga Rey ramah. Irel mengangguk saja menanggapi lalu ia berbalik menuju motornya. Di susul dua jarinya terangkat sekedar memberi informasi pada Kin untuk mengikutinya.

Irel beserta teman-temannya sudah pergi meninggalkan kawasan rumah elit milih Auriesta, menyisakan si gadis yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Jantungnya bertalu namun menyenangkan.

Kemudian ia berjalan pelan ke arah dapur untuk menuju taman belakang, sekitar lima belas meter dari rumputan hijau dan berbagai tanaman indah milik Maria---tepat di belakangnya ada rumah berukuran minimal yang didiami oleh pembantu rumah tangganya.

Sebenarnya sudah dari lama bahkan dari Reya masih hidup, Mba Yam kerap kali ditawarkan mengambil kamar yang lebih layak di dalam rumah besar ini.

Namun wanita paruh baya itu keras kepala, dia selalu menolaknya dengan dalih lebih nyaman karena udara di dalam rumah terlalu dingin untuk tubuhnya. Jadi mau tak mau Reya memutuskan untuk membangunkan rumah dengan satu kamar dan toilet secara terpisah di belakang.

Rey ketuk pintu itu pelan, "Mba Yam, ini Rey, Mba. Mba Yam sudah tidur?"

Sekitar lima menit pintu belum juga dibuka, Rey mulai cemas namun ia paham. Sekarang saja jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam sudah jelas mba Yam sudah tertidur.

Namun ia tak bisa untuk tidak meminta bantuan dari wanita itu untuk permasalahan kali ini hingga tak berselang lama sahutan halus terdengar dari dalam seraya membuka pintu.

"Rey?" Wajah wanita itu terlihat sudah mengkerut dimakan usia. Ditambah terlihat jelas pula efek bangun tidurnya.

Rey menyengir, "Hehe, maaf, Mba, Rey ganggu banget pasti ya?"

"Enggak kok, Nduk. Rey ada butuh sesuatu sama Mba? Atau lapar? Mau dimasakin apa?"

"Eh enggak kok, Mba, Rey enggak lapar. Cuman mau minta obatnya dua malam ini boleh?"

Wanita berumur itu seketika termenung, sorot matanya nampak gelisah dari Rey yang lebih memerlukan.

"Duduk di sini dulu mau ya? Mba mau ambil obatnya dulu." Meski begitu ia tak bisa berbuat banyak. Gadis malang, dadanya terasa sakit melihat wajah Rey yang begitu polos dan naif.

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang