5. ⅓ Painful Things

38 3 0
                                    

"Mas, udah! Udah, aku mohon, Mas. Ingat! Lea itu anak kamu, anak kandung kamu! Gak seharusnya kamu pukuli dia seperti itu!" Teriakan dan isak tangis Maria—mami, menghentikan langkah Johan yang ingin mendatangi kamar Auriesta. Pria itu berbalik dan menghampiri sang istri, ia peluk wanita yang sudah menemaninya dari tahun ke tahun. Sosok yang tak pernah Auriesta terima kehadirannya seumur hidup.

"Maaf," ujar Johan pelan.

Maria menggeleng keras, "Enggak. Ini salahku karena hadir di kehidupan kamu sampai merusak mental Lea. Aku ... aku memang pantas dapat penolakan ini seumur hidupku, Mas. Tolong jangan pukuli lagi Lea, dia sudah tersiksa selama ini."

Johan tertegun. Sudah sekian lama ia abaikan presensi sang putri, putri kandungnya sendiri. Melupakan Auriesta yang tumbuh kembangnya terhambat dan kini menjadikannya menjadi gadis yang penuh dendam. Johan menyadari bahwa semua ini karena ulahnya. Namun untuk meminta maaf lalu merangkul putrinya kembali apa bisa? Johan bahkan tak sanggup tersenyum sedikit pun di depan Auriesta.

"Aku sudah berdosa sama Reya, Mas. Jangan tambah dosaku karena Lea lagi, aku gak sanggup." Runtuh sudah pertahanan Maria. Selama ini ia hanya bisa diam menghadapi semuanya. Makian Auriesta, hinaan Auriesta dan rasa benci milik Auriesta yang semakin tahun semakin meningkat hanya bisa ia telan mentah-mentah.

Setiap Auriesta memulai perkelahian, sang suami akan berakhir memukulnya. Maria hanya bisa diam memperhatikan, ia takut, takut untuk menolong karena tak sanggup jika Auriesta malah semakin membencinya. Karena gadis itu akan semakin benci jika dikasihani, Auriesta tidak akan pernah terima itu semua.

"Maaf, maaf, maaf." Johan hanya mampu mengulang kalimatnya sembari mengencangkan pelukan pada istrinya.

Di lain sisi Auriesta tengah sibuk mengobati lukanya sendiri di kamar. Sedikit kesulitan saat menjangkau luka memar di punggung belakang hanya dengan bantuan kaca full body. Ia sesekali meringis di tengah sakitnya. Air matanya mengalir namun langsung ia usap kasar. Ia tak perlu menangisi hal menjijikan seperti ini.

Bukannya sudah sering seperti ini? Bukannya setiap akhir dari perdebatan memang akan berakhir seperti ini? Tubuhnya akan hancur karena tangan dan kaki sang papi, seharusnya ia sudah terbiasa. Namun kenapa masih saja mengusik pertahanannya sih? Hati, mohon bersabar sedikit lagi.

Seorang gadis bernama Auriesta tidak boleh mengeluh dan tak boleh kalah. Sesuatu yang sudah menjadi perhitungannya selama bertahun-tahun tak boleh sia-sia. Impiannya hanya satu, menghancurkan mereka semua dengan tangannya sendiri. Karena demi apa pun Auriesta tak akan pernah mau ikhlas. Kejadian di masa lalu sudah menghancurkan hidupnya, maka jangan pernah berharap ia tidak akan membalas semuanya. Ia pastikan, semuanya akan baik-baik saja pada hidupnya.

"AKH! Anjing perih juga tolol!"

Lelah. Ia putuskan melemparkan kapas di tangannya kemudian kembali memasang bajunya.

"Sial!"

Dengan langkah gontai ia pergi dari kamarnya. Auriesta pergi dengan mengendarai mobilnya dengan laju di atas rata-rata hingga tak membutuhkan waktu yang lama untuk mengemudi kini dirinya sudah tiba di pemakaman tempat di mana sang ibu mendirikan rumah terakhirnya.

Ia tersenyum tipis lalu tak lama runtuh sudah pertahanannya. Gadis itu terduduk di samping kuburan sang ibu, menatapi nisan yang bertuliskan nama wanita yang amat ia cintai itu.

"Mami, aku datang hari ini. Rindu, rindu sekali," adunya lirih. Ia rapuh, lemah akan fakta dunia. Namun di hadapan sang ibu, Rey usahakan untuk tak menangis. Kedua matanya sudah memerah menahan tangis, ia usap nisan itu dengan tangan bergetar. Perih sekali, tubuhnya, wajahnya dan hatinya.

"Rusak, Mi. Aku benci papi yang sekarang. Badan aku sakit semua, Mi. Aku masih berusaha tahan sampai aku bisa usir mereka semua dari rumah mami."

Nyatanya sekuat apapun ia berusaha bertahan akhirnya runtuh juga di hadapan sang ibu. Auriesta menyesalinya, menyesali akan janjinya yang tak ingin menangis di hadapan mami Reya lagi. Tapi faktanya ia tak bisa tahan itu lagi, air mata sebening kristal ini terjun sendiri tanpa persetujuannya.

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang