37. Derit Kilas Balik

29 3 0
                                    

"Kamu Zora?" Kedua matanya mendadak jernih, seolah tatap butiran berlian di pasir putih. Garis di bibirnya tertarik tampilkan seutas senyum takjub.

"Zora anakku?" sambungnya sampai di mana senyum tulus itu digantikan kekehan halus yang buat bulu-bulu di tangan gadis menengah atas itu meneteskan air mata dengan tubuh bergetar.

"Sayang ini Ayah, Nak. Anakku sudah dewasa. Cantik ...."

"Dan seksi."

"BAJINGAN!" Teriakan Zora mampu rubah keadaan seketika. Vas bunga yang awalnya ada digenggam kini sudah terlempar jauh menghantam tembok tepat melalui kepala pria tua di hadapannya.

"Hei, hei anakku. Kenapa marah begitu?"

Pria itu berusaha mendekat dengan pelan sementara tangan kanannya masih mencengkram rambut Maria kencang. Ia menoleh sekilas, mantan istrinya sudah tak sadarkan diri.

"LEPASIN TANGAN LO DARI NYOKAP GUA, ANJING!"

"Zora jangan teriak. Hussttt! Ayah gak suka kamu seperti ini, diem oke?" Gadis itu menggeleng kencang. Ia takut sekali terlebih setiap kedua matanya bertabrakan ke arah di mana sang ibu tergeletak tubuhnya semakin melemah sampai ia merosot ke lantai. Tak sanggup.

Rasa takut yang ia alami kembali mengambil alih kewarasannya. Gadis itu peluk tubuhnya sendiri sembari menangis histeris sampai sosok pria yang dulunya sering ia panggil ayah itu berhasil menyentuh wajahnya.

Zora berusaha menghindar namun tubuhnya kembali dikukung kencang. Gadis itu meludah tepat di wajah sang ayah saat pria itu mengendus bau wajahnya.

Sebut dia Rangga, pria gila yang Zora harapkan kematiannya. Dia tertawa sumbang seraya bersihkan wajahnya. Tersenyum lebar dan semakin membuat anak gadisnya ketakutan.

"Menjauh dari gue ...." Suaranya parau dan napasnya sesak.

"Sudah lama dari hari itu hm? Anak Ayah semakin cantik." Jari telunjuknya menyapu lengan kanan Zora yang putih bersih, "Bersih sekali anak Ayah."

Suara tangis gadis itu semakin kencang, Zora bergetar ketakutan.

"Zora enggak rindu Ayah memangnya?"

"Lo bukan bokap gua!" sahutnya parau. Tak berselang lama tamparan keras ia dapatkan.

"Berani kamu bilang begitu sama Ayah, hah?! Mau jadi anak durhaka kamu? Dicuci otakmu sama Johan bajingan itu?!"

"Lo yang bajingan asal lo tau! Papi—Papi Johan, di—dia ayah yang baik! Lo gak ada apa-apanya dibanding dia!"

Sekali lagi tamparan yang ia dapatkan sampai tubuh gadis itu jatuh sempurna menyentuh lantai. Ia kembali menangis kencang, meraung meminta pertolongan.

Rangga gapai kepala putrinya, ia dudukkan si gadis lalu ia kecup dahinya. "Anak Ayah, maaf ya? Pasti sakit sekali ya?"

Zora kembali meringis saat kepalanya ditempelkan begitu cepat pada tembok di belakangnya. Kedua matanya melotot sempurna, masih dengan derai air mata yang menyesakkan.

"Kamu ingat? Tanpa Ayah kamu ini, kamu enggak bisa lahir ke dunia. Enggak bisa hidup enak seperti sekarang, enggak bisa makan enak dan sekolah di tempat yang mahal," ucapnya.

"Anak sama istri lo numpang hidup di rumah gua."

"Kenapa kamu takut sekali sama Ayahmu ini, Nak?" Zora menggeleng kencang sampai Rangga terpaksa tekan pegangannya di kepala si gadis lalu ia benturkan pelan kepala putrinya ke tembok sampai Zora terdiam.

"Diam atau benturannya semakin kencang," ujarnya memperingatkan.

Ia mengambil napas berat, Rangga tatap tajam kedua mata anak gadisnya itu seraya bersiul melecehkan. "Semakin cantik kalau menurut."

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang