30. Rey dan Media

31 3 0
                                    

Dulu sekali rumah mewah yang tengah ia pandangi sekitarnya, dari tangga, ruang tamu lalu yang berhadapan dengan meja makan karena memang hanya terbatas sekat transparan. Ia perhatikan tiap inci dengan dada bergemuruh, bibir memucat, pendengaran yang seketika berdenging saat suara cempreng dari anak perempuan usia delapan tahun berteriak memanggil-manggil dirinya yang lelah dari pulang bekerja.

"Papi I love you!"

"I love you!"

"Love you!"

"I HATE YOU!"

Kepalanya seketika merasa pening hingga mengakibatkan rubuhnya pertahanan. Pria dewasa itu langsung terduduk di sofa single sembari memijat pelipisnya.

Ada satu dan dua hal yang ia ingat dengan perasaan kelam, menyakitkan bak teriris sembilu. Rumah ini masih sama, letaknya, posisi bingkainya, figura besar di samping kiri terdapat wajah Reya, sang istri yang telah meninggal dunia. Jemarinya tergenggam erat saat perhatikan almond di figura tersebut, seolah sengaja menyorot tegas kedua netranya isyaratkan kebencian yang paling mendalam.

Johan meringis pelan, satu hal lainnya yang berbeda ialah suasana. Berawal dari keramaian, hangat, harmonis yang berakhir kesengsaraan, penyiksaan, kegilaan berujung kesakitan basah yang masih bertahan hingga sekarang.

Bulu kuduk Johan meremang, isyaratkan jiwanya yang bergetar tertelan kegilaannya sendiri. Saat itu Reya menjadi sosok paling ia cinta di dunia, bahkan ia bisa marah besar saat si kecil, Auriesta, tak sengaja meninggikan suara. Ia sebagai sosok suami, sebagai sosok ayah akan berlaku tegas.

Namun apa yang ia dapatkan dari ketegasan—kelalaian yang telah ia lakukan dari tahun yang mendatang? Apalagi selain kehancuran yang menyakitkan. Istrinya hilang dibawa takdir Tuhan, putrinya bebas dari jeratan harmonis. Hingga tumbuh dalam pengawasan setan-setan kecil yang ia ciptakan lewat amarah.

Setidaknya setelah Auriesta tumbuh hingga sekarang, tak pernah lagi ia dengar tawanya, senyum manisnya. Hanya tertinggal air mata, raungan perih, sakit hati merata, tubuh hancur bertubi-tubi, luka fisik, mental dan hampir menyentuh kematian berulang kali.

Di matanya, ia lihat Rey tumbuh dengan baik. Meski ia selalu marah dan memaki saat anak gadisnya keras kepala, pelawan, suka membantah perintahnya. Tidak sopan dan tak tau tata krama sama sekali. Ia selalu marah dan berakhir memukulnya hingga babak belur lalu ia berikan uang pada mba Yam untuk hantar gadis kecil itu berobat.

Apa yang salah tentang didikan seorang ayah pada anaknya? Tidak, 'kan?

Namun, ada hal lain yang ia lupakan. Johan, sosok ayah, sosok suami, sosok manusia yang berintegritas tinggi, sosok luar biasa di mata karyawannya, sosok hebat dan bla bla bla, begitu penilaian dari orang di luaran sana.

Tapi bagi Auriesta yang harus tumbuh sendiri semenjak kematian ibunya, apa masih pantas sosok luar biasa seperti Johan harus dipandang sepositif itu di mata masyarakat? Tidak perlu jauh-jauh, lihat saja dari kedua netra Rey yang terdalam, ada luka yang tak mudah ditembus, ada dendam yang membara, ada sakit yang berdarah dan ada tangis yang tertahan.

Rey teramat benci pada ayahnya.

Sebuah fakta yang dunia tutupi karena belum ada yang bisa tembus kedua matanya. Rey begitu sangat terluka hingga menciptakan amarah melintang dari kaki hingga ujung kepalanya. Emosi yang terpendam, makian yang tenggelam dan sumpah serapah yang lolos karena tak sanggup ditahan.

Rey sama hancurnya. Tapi kenapa papi malah hancurkan dirinya jauh lebih parah?

Air mata itu jatuh seketika, sesak dirasa hingga ia harus melipat lengan kemeja dan melonggarkan sedikit dasinya. Johan gagal, mau mengulang juga harus diawali dari bagian mana? Rasa-rasanya ia bahkan sudah tak sanggup untuk melihat wajah putri kecil yang dulunya ia sayang-sayang, ia kasihi, ia ciumi wajahnya, ia manjakan dan ia ajak jalan-jalan ke luar negeri.

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang