8. Desire to Die

28 4 0
                                    

Tepat pukul sembilan malam Auriesta menginjakkan kakinya ke dalam rumah. Ia masuk ke dalam karena pintu memang belum dikunci, Maria hapal betul kalau gadis itu tak akan pulang saat makan malam. Maka dari itu pintu tak pernah di kunci di jam-jam segini.

Ia melangkahkan kakinya pelan seperti biasa setelah mengganti sepatunya dengan sandal rumahan. Ia mendesah panjang, perut kenyang dibawa jalan kaki tuh cukup menguras energinya. Dengan malas ia berjalan menaiki tangga. Bahkan sesekali ia bersandar dengan wajah merenggut pada pembatas tangga.

"Baru pulang, Nak? Mau makan lagi gak? Ini Mami sama Zora juga baru mulai." Suara itu, suara yang mampu merusak pendengaran Auriesta. Bahaya sekali meski begitu ia juga menghadap ke arah meja makan dari anak tangga ke tujuh.

"Lo serius ngasih gue makan?"

"Rey," tegur Zora memperingati. "Gak sopan ngomong begitu," sambungnya tak nyaman.

"Lah masalah buat lo?" tanyanya dengan nada menantang. Dua perempuan yang berada di meja makan itu terdiam. Rey memandang mereka remeh. Papi lagi gak ada, untuk apa sandiwara menjijikan ini ia lakukan? Aman, setidaknya mau sekasar apapun ia sekarang tak akan ada yang membantingnya untuk hari ini.

"Mau makan lagi, Nak?" tawar Maria masih berusaha ramah. "Mami ambilkan nasi, ya?"

"Stop sebut diri lo mami, mami! Mami gue cuman Reya!"

"Rey!" bentak Zora dan langsung berdiri dari posisi duduknya. Wah, wah, baru kali ini cewek itu mengangkat suaranya pada Auriesta. Menakjubkan sekali.

Maria menggenggam tangan putri kandungnya berusaha menenangkan, ia tersenyum hangat beri pengertian. Untungnya Zora mau mengerti dan memutuskan untuk duduk kembali melanjutkan acara makannya yang sempat terhenti meski napsunya sudah hilang ditelan kekesalan.

Rey berjalan menghampiri mereka, berdiri tepat di hadapan mereka berdua meski terhalang meja makan. Ia memandang banyak hidangan di atas meja dengan perasaan campur aduk, Maria mengamatinya.

"Mau makan, Nak?"

Brak!

Rey tendang kursi ke samping hingga membuat piring yang berada di atas meja bergetar dan untungnya tidak jatuh lalu pecah. Zora berdiri lagi kini dengan amarah yang mengepul.

"REY!" teriaknya.

Cukup sudah diamnya kali ini. Zora tak pernah sanggup jika ibunya diperlakukan seperti ini. Mungkin Zora akan diam jika Rey hanya menyiksanya, sebab selama ini saudari tirinya itu tak pernah mengganggu sang ibu. Namun kini ia tidak bisa, ia tak bisa menahannya lagi.

Zora diajarkan bagaimana cara menghormati makanan, namun Rey adalah sosok yang tak pernah diajari, tak pernah diberitahu. Hingga responnya hanya sebuah decihan yang semakin memantik api amarah dalam hati Zora yang telah lama tertanam.

"Nak udah ya, jangan ribut. Nggak papa, nggak masalah." Maria berusaha tenangkan sang putri yang menatap tajam putrinya yang lain. Maria sungguh ketakutan sampai tak tahu harus melakukan apa.

"Ini yang lo sebut makanan?" tanya Rey setelah hening sempat menyapa. Ia tendang lagi meja makan tersebut. Zora menggenggam kedua tangannya sendiri erat, menarik napas panjang beri untuk memperluas kesabarannya lagi.

"Lo berdua kalau mau bunuh gue langsung tembak gue aja pake pistol papi yang di lantai dua, gak usah make acara sampah kek begini!"

"Maksud lo apaan, Rey? Kalau lo gak mau makan ya udah gak usah main fitnah. Tiap hari nyokap gue selalu masak banyak supaya lo gak kekurangan tapi bukannya menghargai lo bahkan gak pernah sentuh itu sama sekali!"

Habis sudah stock kesabaran seorang Vristhi Zora. Ia ikut menendang meja sampai beberapa piring berhamburan ke lantai. Gadis itu mengamuk sampai harus dipeluk Maria dengan kencang.

BAD ROMANCE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang