27. Penghakiman Dunia

53 8 1
                                    

Hai!

Selamat membaca🤍

***

Akhir-akhir ini Azura sering merenung pada tenang ombak lautan dan memberi tanya pada antariksa perihal pertanyaan, bagaimana jika usahanya selama ini untuk membantu Sagara bertahan hidup akan berakhir sia-sia? Akan seperti apa jika kekuatan Sagara untuk bertahan hidup akhirnya musnah tak tersisa?

Namun, bumi menggeleng tak tahu arti dan Azura terus melangkah lagi menjelajahi kehidupan sang Tuan. Lalu dari perjalanannya mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang selama ini berputar di kepalanya, Azura justru malah menemukan banyak hal yang lebih bermakna dari sekedar itu. Memang betul jika bersama dengan Sagara adalah hal baru yang begitu membahagiakan.

Walaupun hanya sekedar mengajaknya duduk berdua sembari bercerita, mengenalkannya kue-kue buatan Eyang Soetomo yang enaknya tiada tara, membawanya berjalan-jalan menyusuri Kota Jogja, menemaninya pergi untuk menikmati keindahan samudra, dan hal-hal positif lainnya. Lantas dari banyaknya semua hal yang Sagara lakukan bersama Azura itu, ada satu hal paling Azura suka, yaitu membantu Sagara memberi makan kucing-kucing liar yang ternyata sudah menjadi kebiasaan Sagara yang tidak pernah terlewatkan di setiap harinya. Hal bermakna yang mungkin orang lain tak akan percaya bila seorang Sagara Atmawinata selalu melakukannya.

Azura tahu hal dari diri Sagara yang tak banyak orang tahu. Oleh karena itu, Azura tetap setia menggenggam erat tangan Sagara ketika banyak orang justru malah menganggapnya hina. Meskipun Azura sendiri belum yakin sepenuhnya jika orang yang selalu dia genggam tangannya ini memang bersalah atau tidak. Azura tak tahu menahu perihal peristiwa maut yang merenggut nyawa Jasmine pada tiga tahun lalu itu, tapi yang Azura tahu, Sagara cukup tersiksa akan rasa bersalah yang selama ini menggerogoti jiwanya dan itu seakan menjadi pukulan berat bagi Azura.

Suara gemuruh para mahasiswa yang sedang berdemo kembali terdengar, bersamaan dengan Sagara yang merasakan sesak luar biasa. Ratusan mahasiswa Universitas Bhinneka Nusantara berkumpul di salah satu sudut dari lingkungan kampus ini dalam rangka aksi simbolik mengenang tiga tahun kematian Mendiang Jasmine yang rutin dilakukan setiap tahunnya. Mereka memakai baju serba hitam sembari membawa bunga krisan, lilin, dan balon putih bercak merah sebagai tanda duka cita. Meskipun hari sudah sore, tidak mengurangi tekad mereka untuk menuntut agar pihak kampus segera mengambil tindakan tegas dan membantu mereka dalam pengusutan kematian Mendiang Jasmine ini.

Sementara itu tak jauh dari sana, Sagara tengah berdiri memperhatikan dengan hati tak karuan. Semakin keras suara gemuruh orang-orang yang tengah melakukan aksi itu, maka semakin cepat pula detak jantungnya karena cemas. Azura yang tengah berada di samping Sagara pun perlahan menggenggam tangannya untuk memberikan kenyamanan sekaligus juga mencoba menariknya pergi agar tak lagi melihat kerumunan orang yang berulang-ulang kali meneriakkan nama Mendiang Jasmine dan Sagara.

"Ayo kita pulang," ajak Azura, tapi Sagara menggeleng tegas dengan masih berdiri tegap dan arah pandangan terarah memandangi potret mendiang Jasmine yang terlihat jelas di tengah kerumunan.

Helaan nafas pelan keluar dari mulut Azura. Sedikit frustasi melihat Sagara yang kini tampak murung. Niat mereka yang tadi hendak pulang menjadi terhenti ketika tak sengaja melihat sekumpulan mahasiswa yang tengah melakukan aksi simbolik itu.

Kemudian di tengah kegelisahan yang tengah dirasakan oleh Sagara itu, lamunannya terbuyarkan ketika terdengar suara seorang perempuan yang mengajaknya berbicara.

"Apa Anda tidak ingin ikut dalam aksi simbolik itu? Bukankah Anda juga adalah orang yang merasa kehilangan atas meninggalnya Mendiang Jasmine?" tanya Yori, seorang jurnalis perempuan yang selama ini Sagara tahu sangat berambisi mencari kebenaran dalam misteri kematian Jasmine.

Trauma ; Luka Negeri FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang