Sagara adalah samudra dan Azura adalah bumantara. Jika Sagara tercipta dari riuhnya ombak menderu, maka Azura tercipta dari kelamnya awan kelabu.
Mereka adalah laut dan langit yang dipertemukan atas kuasa skenario semesta untuk mengukir keindahan ;...
Sedari dulu Sagara tidak pernah sepenuhnya memiliki rumah sebagai tempat berpulang kala kehilangan arah, menjadi sandaran ketika dilanda lelah dan penenang saat hatinya resah. Rumah yang di mana dirinya akan diterima dengan utuh dan tak dibiarkan untuk mengeluh ataupun terjatuh. Rumah yang akan melindunginya dari penghakiman tak berdasar dan segala macam rupa ancaman yang selama ini dia rasakan. Rumah yang bukan sekedar objek, tetapi juga subjek.
Kedua tungkai Sagara melangkah masuk ke dalam sebuah tempat megah yang biasa disebut rumah. Manik elang itu menelisik ruangan besar yang menjadi tempat dia dibesarkan. Tak ada yang berubah sedikitpun sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini. Bangunan yang dominan berwarna putih dengan segala dekorasi dan furnitur mewahnya cukup mencerminkan jika pemiliknya adalah keluarga yang memiliki harta dan tahta.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rumah ini besar dan mewah, tapi terasa hampa dan kehangatan telah hilang tak bersisa semenjak sosok nenek pergi ke nirwana. Sangat sepi dan saat Sagara sampai di tempat ini, hanya ada satpam dan beberapa asisten rumah tangga yang sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sagara menghela nafas berat saat pemikiran buruk kembali mendominasi benaknya. Setelah percakapan dengan papanya tadi di mobil, ia begitu yakin bahwa ada sebuah rahasia besar yang disimpan oleh papanya di rumah ini.
Maka selanjutnya dengan langkah berat, Sagara berjalan menuju sebuah ruangan yang berada di lantai 2. Masuk tanpa persetujuan pemilik bukanlah hal yang biasa Sagara lakukan, tapi kali ini dia masuk ke dalam ke ruangan kerja pribadi Pak Dewangga demi menuntaskan rasa penasaran dan kegelisahannya. Sagara menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan keadaan sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam sana. Dia menyusuri setiap sudut dari ruangan itu, bahkan sampai sudut terkecil dari laci sekalipun untuk mencari sesuatu berharap mendapatkan sebuah benda yang bisa menuntunnya pada kebenaran.
Sembari masih sibuk mencari, Sagara menelepon Yori yang sebelumnya sempat menganjurkan melakukan hal ini, "Lo yakin bokap gue yang nyembunyiin barang bukti?" tanya Sagara tanpa basa-basi saat telepon sudah tersambung.
"Kemungkinan besar iya. Informasi itu saya dapatkan dari hasil penyelidikan dengan rekan-rekan jurnalis lainnya. Oleh karena itu, saya berprasangka jika Pak Dewangga Atmawinata melakukannya demi melindungi kamu yang saat itu menjadi tersangka utama," jawab Yori di seberang telepon.
"Kira-kira lo tau ga barang bukti itu apa?"
"Saya belum tau pasti barang bukti itu berbentuk apa, tapi yang saya tau, barang bukti itu merupakan hal terpenting dalam mengungkap kasus ini. Menurut informasi yang saya dapatkan, bahkan Pak Dewangga mengerahkan seluruh koneksi yang dia punya dan rela mengeluarkan banyak uang untuk menutupi kasus ini."
Penjelasan Yori membuat Sagara semakin gencar mencari barang yang dimaksud Yori. Telepon dimatikan oleh Sagara sebelum kembali melanjutkan pencariannya di ruangan kerja pribadi milik Pak Dewangga yang besar itu. Dengan detil Sagara membuka, menggeser, dan menyingkap satu persatu barang yang ada di sana. Namun, hasilnya nihil sebab tak ada satupun barang mencurigakan tersebut.