29. Skema Rahasia

143 15 4
                                    

Tak butuh waktu lama bagi Sagara untuk bergerak mencari kebenaran pasti atas apa yang dikatakan Pakde Guntur kemarin sore. Sagara bukan tipe orang yang akan percaya pada perkataan orang begitu saja. Ketika mendengar sesuatu yang mengusik pikirannya, maka akan dengan segera dia membuktikannya secara konkrit. Nekat pergi secara tiba-tiba menuju Jakarta dengan niat menuntaskan keraguannya dan tanpa berkemas membawa apapun.

Kedatangan Sagara ke Jakarta disambut oleh papanya. Di tengah kesibukannya sebagai anggota gubernur, Pak Dewangga menyempatkan waktu untuk menjemput langsung ke stasiun. Tapi, sejujurnya bentuk perhatian ini sangat membuat Sagara tidak nyaman. Alasannya karena hubungan antara anak dan ayahnya itu memang tidak dekat sedari dulu.

"Seharusnya Papa ga usah ikut jemput Sagara segala," ketus Sagara ketika memasuki mobil yang dia minta menjemputnya dan terkejut ketika menyadari ternyata terdapat Pak Dewangga di dalamnya.

"Kamu ini kalau ke Pak Malik tidak pernah sungkan buat meminta tolong, tapi canggung kalau ke Papa. Memangnya salah kalau Papa ikut menjemput anaknya sendiri? Kebetulan juga Papa baru pulang rapat dan ingin ikut menjemput kamu. Papa kangen sama kamu, nak. Terakhir kali Papa jemput kamu waktu kamu masih kelas 5 SD," kata Pak Dewangga diiringi senyum hangat dan candaan.

Lalu setelahnya mobil bergerak melaju meninggalkan Stasiun Gambir dengan diiringi pengawalan ketat dan suara sirine yang membuat Sagara tak nyaman. Jalanan Kota Jakarta yang cukup padat dan penuh dengan kemacetan di setiap sudutnya ini tak berpengaruh pada kelancaran perjalanan mereka. Di sepanjang perjalanan, transportasi lain menyingkir untuk memberi jalan lewat arahan petugas kepolisian yang bertugas mengawal Gubernur Jakarta itu.

"Mumpung kamu lagi ada di Jakarta, besok mending kamu ikut menemani Papa bermain golf bersama Pak Wiryanto, ketua Partai Persatuan Bangsa. Papa akan kenalkan kamu dengan beliau. Siapa tau nanti di masa depan, kamu berminat bergabung dengan partai. Tahun depan akan ada pemilu dan pilkada, Papa berharap kamu bisa ikut dalam kegiatan kampanye. Kamu pasti ingat dengan kampanye pilkada kemarin, banyak orang menaruh perhatian pada Papa karena keterlibatan kamu dalam kampanye. Orang-orang memuji kepintaran dan ketampanan kamu, yang kemudian memberi dampak positif juga pada suara Papa. Kalau kamu berminat dan tekun, mungkin kamu bisa punya karir politik yang lebih cemerlang dari Papa."

"Sagara ga berminat terjun ke dunia politik," ucap Sagara dingin.

"Bukan ga berminat, tapi belum. Kamu ingat Stevy? Anak bungsu Pak Wiryanto, yang baru selesai studi S2 di Jerman. Dia selalu ikut kegiatan partai dan kabarnya tahun depan dia akan mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Seingat Papa, kalian dulu satu kelas dari SMP sampai SMA. Bahkan karena saking dekatnya, Papa mengira kalau kalian berpacaran. Waktu Minggu kemarin di acara pertemuan partai, Stevy menanyakan kabar kamu pada Papa."

"Pa, Sagara ga suka sama dunia politik. Perlu Papa tau, Sagara juga terpaksa temenan sama Stevy karena disuruh Papa yang waktu itu butuh dukungan dari partai Pak Wiryanto. Dari dulu sampai sekarang, Papa selalu manfaatin Sagara demi kelancaran karir politik Papa. Tapi, buat sekarang, Sagara minta tolong sama Papa untuk jangan melibatkan Sagara lagi dalam kepentingan Papa atau apapun itu," Sagara menimpali dengan tenang, namun penuh penekanan yang membuat Pak Dewangga terdiam.

"Oh ya, kepulangan kamu ke sini pasti bukan tanpa alasan, 'kan? Terakhir kamu pulang itu lebih dari setahun yang lalu. Kenapa? Apa kamu kangen sama Papa dan Mama?" Pak Dewangga mengalihkan topik pembicaraan dengan perbincangan hangat.

"Sagara ke sini buat cari kebenaran yang selama ini disembunyikan Papa," kata Sagara sembari mengalihkan pandangan menatap Pak Dewangga lebih serius dan tajam.

"Kebenaran apa maksud kamu?" tanya Pak Dewangga dengan alis mengerenyit bingung.

"Kebenaran dari alasan kenapa Papa tega ancam bapak-bapak tua yang bakal ngasih kesaksian atas apa yang dia lihat di kecelakaan 3 tahun lalu itu. Jadi, apa alasannya, Pa?"

Trauma ; Luka Negeri FanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang