40# Make A Wish

1.5K 154 34
                                    

"Mama...."

Ricky langsung terduduk di depan pusara sang Mama. Memeluk batu nisan itu dengan erat selama beberapa menit.

Tangisannya semakin menjadi-jadi setelah ia sampai di tempat peristirahatan terakhir sang Mama. Bocah itu kini diam memandangi makam Mama sembari terisak hebat.

"Hari ini ulang tahun Adek yang ke 17, Ma. Itu artinya, Mama udah pergi ninggalin Adek sama Kakak-Kakak yang lain selama 17 tahun..." Ricky tersedu bukan main. Dadanya terasa begitu sesak.

Mama meninggal dunia saat beliau melahirkan Ricky. Operasi caesar berhasil dan bayi laki-laki itu selamat, namun tidak untuk sang Mama. Tuhan berkehendak lain dengan mengambil nyawa Mama untuk pergi selama-selamanya. Mama meninggalkan 7 anak laki-laki yang saat itu masih kecil-kecil.

Hingga sampai sekarang, kepergian Mama sudah genap 17 tahun lamanya. Namun, 7 anak laki-lakinya tetap tumbuh dengan baik dan saling menyayangi satu sama lain meski tanpa kehadiran sosok Mama.

Semua terlihat normal dan biasa saja, tapi sebenarnya tidak untuk Ricky. Setiap hari, bocah itu seolah-olah hidup dengan rasa bersalah yang teramat.

Mama meninggal karena melahirkan Ricky. Ricky adalah pembunuh Mama. Kalimat seperti itu terus menghantui pikiran Ricky sejak dulu. Hampir setiap malam, kepalanya berisik menyuarakan rasa marah sekaligus bersalahnya.

"Kalo tahu hidup Adek bakal kayak gini, Adek akan lebih memilih buat nggak dilahirin aja, Ma. Adek sakit, setiap hari kepala Adek berisik, rasanya pusing." Bocah itu memukul kepalanya beberapa kali.

"Tapi, Mama udah rela mempertaruhkan nyawa Mama untuk Adek. Jadi, Adek akan terus hidup demi Mama. Makasih ya Ma, sudah menjadi Mamanya Adek. Adek sayang Mama," Ricky menangis lebih keras. Tangannya mengusap batu nisan itu berkali-kali seolah-olah menyalurkan rasa sayang pada sang Mama.

"Mama, teman-teman Adek jahat. Masa tadi di sekolah, mereka ngerayain hari kematian Mama. Mereka ngasih Adek kue dan nyuruh Adek tiup lilin. Tapi Adek nggak tiup lilinnya Ma, karena Adek nggak mau ngerayain hari kematian Mama."

"Adek bingung banget, Adek mau benci teman-teman Adek, tapi mereka nggak tahu apa-apa..." Ricky menarik napas panjang saat wajah Richard tiba-tiba muncul di kepalanya. "Tapi kalo untuk yang namanya Richard, Adek beneran benci! Dia itu nakal bangeeeettt, suka ngejek Adek, suka ikut campur urusan Adek juga. Adek pengen mukul wajah Richard sampe berubah jadi jelek, tapi nanti Adek di omelin bang Ray."

Ricky memejamkan mata beberapa saat. Curhat di makam Mama bukanlah hal yang buruk. Karena, hanya di makam Mama lah Ricky bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang selalu ia pendam setiap harinya.

"Mama, hari ini Adek berusia 17 tahun. Adek hebat kan, Ma? Adek bisa bertahan hidup sampai sejauh ini, meski tanpa kehadiran sosok Mama di hidup Adek." Ricky tersenyum tipis, hanya untuk mengapresiasi dirinya sendiri.

Bayi laki-laki yang ditinggal Mamanya meninggal sejak lahir, kini sudah beranjak dewasa. Ricky telah melalui masa kecil sampai remajanya dengan perasaan suka dan duka yang berhasil dia lalui setiap harinya.

"Adek suka iri sama teman-teman Adek... Dari kecil mereka tumbuh dengan di dampingi Mamanya, sedangkan Adek?" Bocah itu tidak melanjutkan ucapannya, ia terisak keras. Mengundang siapa saja yang melihatnya pasti akan merasa iba.

"Mama, nanti kalo Mama datang ke mimpi Adek, Mama harus ngelihatin wajah Mama ke Adek ya? Biar Adek bisa tahu wajah cantik Mama. Terus, Mama juga harus ngomong sama Adek! Adek pengen dengar suara Mama tau!"

Bocah itu menatap nanar batu nisan Mamanya. Ia ingin melihat wajah Mama dan mendengar suara Mama. Selama ini, ia hanya tahu wajah Mama melalui foto yang diberikan oleh Papa.

Mama itu cantik! Nanti kalo Ricky udah besar, Ricky mau punya pacar yang cantiknya setara dengan Mama!

"Udah dulu ya, Ma. Adek mau pulang, udah sore. Besok-besok Adek akan kesini lagi ngobrol sama Mama," Ricky mengusap batu nisan itu berkali-kali.

"Mama jangan lupa datang ke mimpi Adek ya? Adek sayang Mama," bocah itu mencium batu nisan Mamanya beberapa detik, kemudian memeluknya erat-erat sebelum akhirnya ia beranjak dari sana.




–SEVEN–



Ricky terkejut saat keluar dari area pemakaman dan menemukan sosok Juan sedang duduk di atas motor sembari memainkan ponselnya. Bocah itu segera menghampiri Juan.

"Juan, ngapain di sini?" Tanya Ricky to the point.

Melihat kedatangan sohibnya itu, Juan langsung mematikan ponsel dan menyimpannya di saku celana. Ia memandang wajah Ricky lamat-lamat, kemudian menghela napas pelan.

"Nungguin lo lah, takut lo kenapa-kenapa," jawab Juan.

Ricky tersenyum, "Makasih. Tapi gue nggak pa-pa kok," ucapnya.

"Bohong!"

Ricky langsung tersenyum samar, ia mengedipkan matanya berkali-kali saat genangan air menumpuk di kedua pelupuk matanya.

"Juan, lo tahu nggak? Walaupun gue nggak ngerayain ulang tahun, tapi gue selalu punya keinginan dan permintaan di hari ulang tahun gue." Ucap Ricky.

"Hm?"

"Kalo orang lain ulang tahun, keinginan mereka pasti minta diberi umur yang panjang dan kebahagiaan di hidupnya. Tapi kalo keinginan gue bukan itu semua." Ujar Ricky.

"Terus apa dong keinginan lo?"

Ricky langsung memejamkan mata kemudian menarik napas panjang.

"Gue pengen peluk tubuh Mama dan cium pipi Mama tanpa harus nangis di batu nisannya." Jawab Ricky.

Mata bocah itu tiba-tiba memanas lagi, dalam hitungan detik ia bisa merasakan pipinya basah oleh derasnya air mata yang keluar tanpa bisa ia bendung. Bocah itu lagi-lagi merasakan sesak yang teramat pada dadanya.

Dari dulu, keinginan Ricky itu sederhana. Dia ingin memeluk dan mencium sang Mama. Tapi, untuk bisa mewujudkan keinginan itu, Ricky harus datang ke makam Mamanya terlebih dahulu. Menangis tersedu-sedu di depan pusara Mama, kemudian memeluk batu nisannya.

"Tapi gue tau itu semua mustahil. Jadi, gue ubah keinginan gue. Lo tau apa?" Tanya Ricky. Juan langsung menggeleng.

"Gue pengen Mama datang ke mimpi gue buat meluk dan cium gue. Sederhana, tapi gue belum pernah mimpi begitu," jawab Ricky.

Juan terdiam, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab ucapan sahabatnya itu. Akhirnya, ia mendekap tubuh Ricky kuat-kuat. Kedua tangannya ia gunakan untuk mengelus punggung bergetar itu.

Juan bisa merasakan bagaimana sakitnya menjadi Ricky. Juan tahu, Ricky selalu pura-pura menjadi anak yang kuat, padahal aslinya bocah itu sangat rapuh.

"Ricky, walaupun gue nggak ngalamin, tapi gue bisa ngerasain gimana sakitnya jadi lo kok. Gue juga nggak bisa membantu keinginan lo supaya terwujud. Tapi kalo lo mau, lo bisa anggap Mama gue sebagai Mama lo sendiri. Bahkan kalo lo mau, lo boleh meluk dan cium Mama gue. Lo bisa jadi saudara gue, lo bisa jadi anak Mama gue." Juan melepas pelukannya pada Ricky, kemudian menatap mata sahabatnya itu dalam-dalam.

"Lo nggak boleh sedih, lo nggak boleh terus-terusan nyalahin diri lo sendiri, lo nggak boleh merasa sendiri. Lo punya 6 Kakak, lo punya Papa, lo punya gue, dan lo punya Mama Arina. Mulai sekarang, Mama gue adalah Mama lo juga!" Ucap Juan diakhiri dengan senyum tulus.






















•••••

Bersambung....

Harusnya part ini dan part sebelumnya, jadi part yang menyedihkan. Tapi kalau ternyata nggak bisa nge-feel, aku mohon maaf🥲🙏

Awesome Lil' Brothers | ENHYPEN✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang