51# Sebuah Takdir

1.7K 162 58
                                    

Di depan pusara sang Papa, Lean terpekur dengan perasaan hancur. Tidak pernah menyangka sebuah kejadian menyakitkan ini akan terjadi pada keluarganya dengan tiba-tiba. Lelaki itu kini sudah merasakan pahitnya kehilangan orang tercinta dalam hidupnya selama dua kali. Sang Papa benar-benar sudah pergi menemui Mamanya di surga.

Tidak ada kata pamit dan perpisahan yang layak dari sang Papa kepadanya. Pelukan hangat yang dia dapatkan terakhir kalinya adalah ketika lelaki itu berpamitan akan pergi ke Yogyakarta untuk kuliah. Tidak pernah terbesit dalam pikirannya jika pelukan itu adalah pelukan terakhir Papa selama hidupnya. Jika Lean tahu, lelaki itu akan memilih untuk tetap tinggal di rumah alih-alih kembali ke Yogyakarta. Ingin sekali Lean mengulang waktu, agar dia bisa menghabiskan hari-hari terakhir Papanya bersama-sama. Namun takdir tetaplah takdir. Papa sudah benar-benar pergi untuk selama-lamanya.

Setelah pemakaman selesai, anggota keluarga dan kerabat Papa mulai meninggalkan makam. Termasuk Anak-anaknya-kecuali Lean dan Shaka- yang juga akhirnya meninggalkan tempat peristirahatan terakhir Sebastian setelah bermenit-menit tinggal untuk sekedar mengungkapkan perasaan duka yang masih terasa di dalam hatinya.

"Papa..." Mati-matian Lean menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi semakin ia cegah, justru rasa sakit dalam dadanya terasa semakin kuat mendera dirinya. Menyiksa hatinya berkali-kali lipat dengan kepedihan yang teramat.

Dengan tubuh yang bergetar hebat, ia usap batu nisan Sebastian dengan pelan. "Papa tega sekali ninggalin Lean di sini, nggak pamit sama Lean juga." Lelaki itu tersedu bukan main. Dadanya benar-benar terasa begitu sesak ketika ia menarik napas.

Maka dengan begitu, Shaka yang duduk di sebelahnya-sejak tadi juga tidak berhenti menangis-akhirnya meraih tubuh Lean untuk ia dekap dengan erat.

Rasanya Shaka ingin membisikkan kata-kata penenang untuk Lean, tapi bibirnya terasa sangat berat untuk ia buka. Shaka tidak mampu. Karena nyatanya, ia sendiri juga sama rapuhnya seperti Lean. Akhirnya, ia biarkan dirinya dan Lean larut dalam kesedihannya masing-masing. Terisak hebat di depan pusara Papa.

"Shaka?"

Dengan gerak lemah, Shaka menolehkan kepalanya hanya untuk melihat Lean. Wajah sendu yang penuh air mata, mengundang siapa saja yang melihatnya akan merasa iba.

"Lo... Nggak bisa bangunin Papa lagi? Papa beneran udah pergi sekarang?"

Alih-alih menjawab, Shaka justru menangis semakin keras. Ia tidak bisa membangunkan Papanya. Papa sudah benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Meninggalkan anak-anaknya yang bahkan sebenarnya masih belum siap kehilangan sang kepala keluarga.

"P-papa udah meninggal dunia, Kak... Papa udah ketemu sama Mama di surga."

Shaka berucap dengan lirih, sementara matanya menatap nanar batu nisan di depannya.

"Kita udah nggak punya orang tua lagi?"

Shaka semakin menangis dengan keras, fakta menyakitkan itu memang benar adanya. Lelaki itu akhirnya semakin memeluk tubuh bergetar Lean dengan sangat erat. Menumpahkan semua kesedihannya disana.



-AWESOME LIL' BROTHERS-


Ricky benar-benar tidak bisa menahan dirinya untuk berhenti menangis. Meringkuk di lantai yang dingin sembari memeluk lututnya erat-eratnya. Kesedihan setelah ditinggal Papa meninggal benar-benar menyakitkan. Bocah itu bahkan belum sempat menjadi anak yang bisa membanggakan Papanya.

"Ricky hey... Bangun, jangan kayak gini."

Harris yang sejak pulang dari pemakanan tadi, langsung mengikuti Ricky masuk ke dalam kamar. Ia tidak bisa membiarkan sang Adik bungsu larut dalam kesedihannya sendiri. Bocah itu butuh dukungan sekarang. Dan sebagai Kakak tertua, ia harus bisa menjadi penguat untuk Ricky. Meski sebenarnya dirinya sendiri juga butuh penguat, tapi Harris tidak ingin menjadi Kakak yang bodoh dan membiarkan Adiknya sendirian setelah ditinggal kedua orang tuanya meninggal dunia. Bagaimanapun juga, anak pertama memang harus menjadi yang terkuat di antara Adik-adiknya kan?

Awesome Lil' Brothers | ENHYPEN✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang