27 - Final Goodbye?

1.4K 78 37
                                    

DAY 33

Cassie's Point of View

"Lo nggak mau jelasin apapun ke kakak lo ini, Cassie?"

"Jelasin apa lagi, Vin? Tentang gue dan Justin? Well, semuanya udah jelas. Nggak ada apa-apa antara gue sama dia." jawabku.

"Oh, come on! I know there are something going on between you two. I'm not blind, Cassie. When we left that mansion that night, I'm sure, Justin's was pretty sad." sahut Calvin.

"Maybe. Terlalu sedih sampai nggak bisa nahan gue pergi? Very funny, Vin. Mungkin kita bisa berhenti bahas ini dan lo bantuin gue masak." ujarku.

Justin berusaha menghubungiku sejak aku meninggalkan mansionnya. Tapi aku tidak pernah membalas pesan atau mengangkat telponnya.

"Gue tahu lo juga suka sama dia. Kalian benar-benar hidup dalam denial situation. Which is pretty sad." Calvin memang selalu bisa menjadi menyebalkan sekaligus penuh perhatian. Aku lebih suka 'Calvin yang perhatian'.

Usai sarapan, aku minta untuk diantar Calvin ke kampus. Tapi, memang dasar Calvin yang menyebalkan, dia menyuruhku untuk naik kendaraan umum atau taksi. Yang benar saja? Lalu apa gunanya dia di sini?

"Really? Are you playing this right now? Kak! Kan tahu sendiri kalau Cassie belum bisa biasa kalau nyetir mobil di sini. Selama tinggal sama Justin aja selalu ada yang nganterin gue. Kok lo nggak mau, sih?" gerutuku.

"Manja. Ya udah, sih. Lo telpon si Justin buat nganterin. Susah amat. Gue punya kerjaan, Cassie. Jadi nggak akan keburu. So, please don't give me that look again, puppy eyes don't work on me," ujar Calvin. Aku hanya bisa mendengus kesal mendengarnya.

Aku memutuskan untuk tak peduli lagi pada Calvin dan melanjutkan kegiatan memasakku.

Saat sarapan sudah siap, Calvin malah sudah meninggalkan rumah. Ia bilang kalau dia sangat terburu-buru pagi ini dan dia minta maaf karena sebelumnya ia sudah mendapat telpon yang memintanya untuk segera ke kantor. Aku sebenarnya sangat kesal. Tapi, bagaimana lagi? Dia tetap kakakku dan sejuta kesibukannya yang tidak pernah kumengerti.

Tiba-tiba terdengar suara ponselku berdering. Dan nama Justin muncul di layar. Aku membiarkan ponselku hingga benda itu berhenti berdering.

Entahlah, setelah meninggalkan mansion itu, aku juga berkeinginan untuk jauh-jauh dari kehidupan Justin. Walau sebagai teman sekalipun, entah kenapa rasanya tetap ada yang memburuku. Rasa kekhawatiran yang terus menghantuiku belakangan ini. Well, tentu saja sejak semua kejadian yang melibatkan aku di dalamnya.

Di satu sisi, aku tetap ingin menjadi bagian dari hidup Justin. Di sisi lain, aku cukup sadar jika tempatku bukan di sana. Bukan di antara sorotan lampu kamera. Bukan untuk jadi pusat perhatian para penggemarnya. Bahkan untuk jadi temannya, sekedar hang out bersama saja perlu berpikir dua kali bagiku.

Hidup seperti itu bukan hal yang mudah. Hingga sekarang, aku tidak mengerti bagaimana cara Justin melakukannya. Aku yang baru diterpa pemberitaan miring beberapa kali bersama Justin saja sudah seperti ini. Bagaimana Justin yang sudah sangat sering dicap sebagai pembuat onar, superstar berandal, womanizer, heartbreaker, dan sebutan lain yang tak kumengerti.

***

Usai kelas terakhirku di kampus hari ini aku mengajak Angela untuk mendengarkan ceritaku. Kami berdua memilih menghabiskan waktu di taman.

"Jadi, intinya lo mau menjauh like, benar-benar keluar dari kehidupannya, gitu?" tanya Angela, aku mengangguk lesu.

"What can I say? Gue sebenernya juga punya perasaan yang sama kayak dia. But, I know that I can't live the way he live his life. Get what I'm saying?"

Mission In 40Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang