DAY 40
Dania's Point of ViewAku mengingat lagi hari-hari yang aku lalui sebelum benar-benar meninggalkan dunia ini. Saat aku bersama Ayah, Yoda, Kakek, dan Nenek. Justin juga termasuk yang berarti di hidupku. Sangat-sangat berarti, bahkan. Aku mungkin tidak akan bisa hidup lebih lama jika dia memilih pergi kembali melanjutkan karirnya saat itu. Dia satu-satunya orang yang gigih memaksaku untuk melakukan kemoterapi, walaupun hasilnya tetap berakhir pada kematianku.
"Ini sudah hari terakhir. Hari ke-40. Apa kau sudah siap? Ini akan jadi hari dimana kau akan meninggalkan semua urusanmu di dunia, Dania." Malaikat itu. Dia datang lagi menghampiriku. Masih dengan wujud yang sama seperti aku pertama kali bertemu dengannya waktu itu.
"Siap tidak siap, aku tetap akan harus menyeberang ke alam lain, kan?" tanyaku padanya. Si Malaikat ini hanya tersenyum penuh arti. Ia kemudian mengambil tempat di sisiku yang saat ini sedang duduk di taman halaman rumah Justin.
"Kau benar. Aku bisa melihat kedua orang itu sudah semakin dekat sekarang, semoga takdir benar-benar menuntun mereka bersama seperti yang kau dan aku harapkan, sejak pertama kali memilih gadis itu," ucapan Malaikat membuatku senakin bingung.
"Apa maksudmu?"
"Kau mungkin sudah berhasil membuat mereka saling menyukai atau saling mencintai saat ini. Tapi, itu semua tergantung pada mereka bagaimana ke depannya nanti," jelasnya.
Lalu, akankah semua yang sudah kulakukan ini sia-sia begitu saja? Bagaimana jika di akhir nanti Justin dan Cassie harus benar-benar berpisah?
"Jangan bilang usaha mereka bersatu itu sia-sia? Jangan bilang kalau aku hanya melakukan usaha yang bahkan kemungkinannya saja tidak jelas?" Malaikat hanya diam dan menunduk lesu.
"Kau mungkin memang yang menolong mereka, tapi takdir sungguh tidak ada yang bisa menebak, Dania. Kita hanya bagian dari usaha menyatukan dua anak manusia. Selebihnya, semua ada di tangan mereka."
Aku benar-benar bingung. "Kau tidak bilang hal semacam itu di awal aku menyetujui menyelesaikan urusan ini. Bagaimana kalau nanti pada akhirnya Justin harus bersama perempuan brengsek? Kau mau tanggung jawab?!"
"Aku pernah bilang padamu untuk hati-hati dengan perasaanmu sendiri. Kau tidak boleh menggunakannya selama kesempatan 40 harimu berjalan. Tapi, rupanya itu memang sulit untuk kau lakukan, Dania." Ucap Malaikat sambil menaruh kedua tangan di depan dadanya.
Aku yakin betul selama 40 hari ini aku tidak menggunakan perasaanku. Kenapa dia berpikir aku melakukannya?
"Coba kau cerna kembali kata-kataku. Kita tidak akan bisa menerka takdir. Mengontrolnya. Namun, kita bisa merubahnya. Justin dan Cassie bisa merubahnya, asalkan mereka mempertahankan apa yang sudah ada saat ini." Aku mendengarkan ucapannya sambil berpikir keras kali ini. Mungkin dia benar, ada atau tidaknya aku hanya berpengaruh kecil di sini. Semua kembali lagi pada mereka berdua.
Aku pun beranjak dan meninggalkan Malaikat yang menatapku bingung, "Kau benar. Setelah ini hanya mereka yang bisa saling menyatukan. Aku ingin bilang pada Justin kalau bagaimanapun, jika mereka ingin terus dipersatukan harus ada usaha dari keduanya." Malaikat tersenyum mendengar itu. Aku pun melangkah memasuki mansion Justin.
Sampai di kamar Justin, aku melihat dia masih tertidur pulas. Wajahnya begitu tenang, terlihat sangat nyenyak dalam tidurnya.
Hari ini adalah hari terakhir aku berinteraksi dengannya. Bisa melihatnya seperti ini. Tanpa aku sadari, aku menitikkan air mata. Entah kenapa rasanya tiba-tiba sedih saja melihatnya dengan wajah damainya seperti ini, kemudian mengingat bahwa besok aku sudah benar-benar berbeda alam dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mission In 40
FanfictionWARNING: Beberapa part sudah diprivate secara acak. Ketika seorang gadis yang telah meninggal dihadapkan pada sebuah misi. Entah bagaimana jadinya bila ia harus membantu seorang megastar, Justin Bieber menemukan cinta sejatinya sementara ia benar-be...