20 - He Open Up To Me

1.2K 74 16
                                    

Jadi, hari ini aku akan pergi untuk makan malam bersama Justin, setelah hampir satu bulan kami mengenal. Sebenarnya acara makan malam ini bukan inisiatif dariku, tapi Justin yang memaksaku untuk pergi. Entah apa yang dipikirkannya saat mengajakku. Setelah mengenalnya sejauh ini, aku tahu kami saling suka satu sama lain.

Bagaimana tidak? Hampir setiap hari kami bertemu, meluangkan waktu bersama di Te Amo, membaca buku cerita bersama, pergi ke pantai, dan jalan-jalan mengelilingi Kuta setiap sore. Tentu perasaan suka satu sama lain tidak dapat terhindarkan. Kami sempat menyatakan perasaan satu sama lain seminggu yang lalu. Dan aku cukup senang. Setidaknya, aku lega perasaanku terbalaskan.

Namun, ada satu hal yang begitu mengganjal di hatiku saat ini. Ini semua mengenai penyakit yang aku derita. Ya, hanya Justin satu-satunya orang terdekatku yang belum tahu mengenai penyakit yang sedang menyerang tubuhku ini. Aku sebenarnya merasa bersalah karena tidak memberitahunnya. Tapi, perasaan takut menyerangku. Aku takut bila aku membiarkan dia tahu mengenai penyakitku, dia akan pergi begitu saja. Terlebih lagi, ia hanya memiliki waktu tiga bulan di sini. Bisa saja saat dia tahu aku mengidap penyakit parah, ia akan segera kembali ke Amerika.

Karena perasaan bersalah itu, aku ingin memberi tahunya bahwa aku sakit selama ini. Masalah tanggapan Justin setelahnya, aku tidak peduli. Yang jelas, aku akan mengatakan padanya apa yang terjadi sebenarnya padaku.

Jam sudah menunjukkan pukul 19.00. Aku bergegas keluar kamar dan meraih tasku bersamaku. Sementara di ruang tamu, sudah terlihat Justin, Kakek, dan Nenek duduk manis bertiga, sedang membicarakan sesuatu. Begitu melihatku keluar kamar, Justin langsung berdiri dari kursi yang didudukinya. Aku berjalan menghampirinya.

"Kamu cantik," ujar Justin tanpa meninggalkan aksennya. Aku hanya tersipu malu, saat mendengar Kakek dan Nenek menertawakan kami berdua. Sebelum mereka bertindak terlalu jauh, aku segera menarik tangan Justin keluar rumah setelah pamit pada Kakek dan Nenek.

"Kamu kenapa? Malu?"

"Ya jelas, mereka meledek kita."

"Meledek? Apa artinya itu?"

"Hm... Mocking, they were trying to made fun of us." setelah mendengar jawabanku, Justin hanya mengangguk.

Akhirnya kami berdua berjalan beriringan menyusuri trotoar jalanan daerah Kuta menuju sebuah restoran yang sudah dipesan Justin.

Makan malam kami berdua berjalan dengan baik. Terlalu baik, hingga aku tidak berani merusaknya dengan mengatakan yang sebenarnya pada Justin.

"Justin, aku harus bilang sama kamu sesuatu."

"Apa?"

"Aku selama ini sakit. Brain cancer," sesaat setelah aku mengatakannya, Justin justru tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"This doesn't make sense at all, Danskie. Are you trying to prank me? It won't work, seriously. I'm a king of prank!" serunya seraya menyombongkan diri. Aku tidak habis pikir, kenapa reaksinya justru seperti ini, diantara sekian banyaknya reaksi yang harusnya dia ungkapkan, kenapa dia harus mengira kalau aku sedang mengerjainya?

"Tatap aku. Apa aku seperti sedang bercanda?" tanyaku padanya sungguh-sungguh. Kali ini, suasana diantara kami justru menjadi hening. Aku yakin sekarang pasti Justin sedang memikirikan bagaimana caranya untuk pergi secepatnya meninggalkanku.

"If you want to go, just go away. I don't mind. You sure don't want to like me anymore."

Justin terdiam begitu lama, sampai akhirnya dia berkata, "Let's just go home." hanya itu yang kudengar. Ia jelas tidak mau membicarakannya. Aku jadi takut sendiri, aku takut kalau dia marah padaku dan kemudian memutuskan untuk meninggalkanku. Tapi, siapa aku berani berharap untuk menahannya tetap di sini? Bisa saja dua bulan kedepan setelah dia dari sini, dia akan melupakanku begitu saja.

Mission In 40Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang