Forgive Me; 12

57 9 0
                                    

FORGIVE ME
.
.
.
.
HAPPY READING










Heningnya malam dengan udaranya yang dingin, tak membuat Meyna ingin bangkit dari duduknya. Ia tengah duduk di dekat jendela tentunya dengan jendela yang terbuka. Matanya menatap datar langit yang gelap yang hanya ditemani bintang-bintang tanpa adanya bulan.

Wajah Meyna yang pucat, tak membuat dirinya bangkit lantas beristirahat. Rasanya begitu malas sekedar bangkit ke tempat tidur. Rasa pusing di kepala perlahan mulai menghilang. Namun, tidak dengan rasa sakit yang ada di dadanya.

Ucapan-ucapan sang papa kembali terbayang di dalam otaknya. Rasanya, Meyna ingin sekali memecahkan kepalanya detik ini juga. Ucapan sang papa terlalu menyakiti hati Meyna. Tapi, Meyna tetaplah Meyna. Seorang gadis yang hanya bisa menyimpan lukanya sendiri.

"Sakit, hati aku sakit." Meyna menundukkan kepala seraya meremat kuat ujung hoodie yang tengah ia pakai.

Air mata sudah menggenang di pelupuk, tetapi Meyna enggan untuk menjatuhkannya. Rasa sakit itu terlalu mendominasi hati Meyna sampai-sampai ia tidak bisa tertidur hanya karena memikirkan masalah itu.

"Papa menyesal membesarkan kamu, Meyna! Kamu cuma bisa jalan-jalan bersama laki-laki tanpa pernah memikirkan adik kamu di rumah!"

"Kamu selalu memarahi adik kamu, tanpa kamu tau, adik kamu selalu menangis sendirian di tengah malam! Apa kamu tidak sayang dengan adik kamu?! Apakah kamu menyesal memiliki adik?! Kalau papa, papa justru menyesal memiliki anak seperti kamu!"

Ucapan itu kembali terbayang, Meyna menepuk-nepuk kepalanya kuat dengan rintihan yang terus saja ia pendam. Air matanya perlahan mengalir di pipinya. Suasana heningnya malam tak membuat Meyna tenang. Gadis itu justru semakin merasakan sakit yang luar biasa di dalam hatinya.

Kapan semuanya usai? Kapan penderitaan ini akan selesai? Dan kapan Meyna akan merasakan kebahagiaan yang selalu ia impikan sedari kecil?

Meyna menutup wajah menggunakan telapak tangannya. Menahan suara agar tidak terdengar oleh keluarganya.

"Aku capek ..." lirihnya dengan air mata yang tak berhenti mengalir.

Sedari kecil, Meyna sama sekali tidak mendapatkan kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tua. Gadis kecil itu selalu diabaikan, selalu dicaci bahkan dimaki. Sampailah suatu ketika, ia bertemu dengan Reyhan yang selalu bersikap baik padanya hingga saat ini.

"Cuma Reyhan dan Kila yang sayang aku ... tapi kenapa Kila justru pergi ninggalin aku? Apa aku harus kayak Kila, supaya aku bisa disayang?" gumamnya sendiri.

Meyna beralih menatap bintang-bintang yang ada di atas sana. Pandangannya sayu, seolah ingin mengakhiri semuanya saat ini juga.

"Aku punya keluarga yang terkenal baik dan harmonis, tapi dengan nggak adanya aku di sisi harmonis itu. Aku selalu nggak dianggap oleh siapa pun di rumah ini." Air matanya masih terus mengalir dengan hati yang terasa begitu menyesakkan.

"Semuanya semakin hancur semenjak papa bangkrut. Apa aku harus kerja, biar memperbaiki semuanya? Biar aku dianggap berguna? Apa aku harus banting tulang dulu biar dapet kasih sayang?"

"Aku juga pengen disayang ... jangan cuma abang dan adek aja yang disayang. Aku juga butuh kasih sayang itu, ma... pa...."

Meyna menangis tersedu-sedu sembari memukul dadanya sendiri yang terasa begitu menyakitkan. Dadanya terasa nyeri bukan main saat ini. Sekedar menghentikan tangisan saja, Meyna merasa tak bisa.

Meyna begitu lelah menghadapi dunia yang tak pernah adil padanya. Selalu mendapat perlakuan buruk dari orang-orang membuat Meyna lelah. Lelah karena tak bisa melakukan apa pun demi membalas perlakuan mereka.

Tujuh belas tahun Meyna hidup di dunia, Meyna belum pernah merasakan apa itu artinya bahagia. Menyedihkan bukan? Ya, inilah Meyna. Seorang gadis yang selalu menahan lukanya sendiri.

Tanpa Meyna sadari, di luar kamarnya terdapat seseorang yang tengah menatap Meyna datar. Getaran rasa iba perlahan mulai muncul, namun enggan untuk menghampiri sekedar memberi pelukan hangat.

Rasa gengsi terlalu mendominasi sehingga rasa iba itu perlahan membawa langkah kaki dari Kaivan perlahan menjauh dari kamar Meyna. Rasanya masih tak bisa untuk menenangkan adiknya itu. Karena ia pun tak pernah berbuat baik pada adiknya sedari dulu.

Forgive Me

Meyna terlonjak kaget lantaran ada sesuatu yang jatuh mengenai wajahnya ketika tertidur. Meyna langsung terduduk sembari mengusap air yang disiram oleh mamanya ke wajahnya. Meyna menatap mamanya dengan datar. Ia ingin marah, tetapi ketika tersadar bahwa marahnya tidak akan ada gunanya, Meyna memilih untuk diam.

"Kamu itu! Lihat ini udah jam berapa?! Kerjaan kok tidur terus! Jangan mentang-mentang kamu lagi libur sekolah, kamu bisa seenaknya aja tidur!" sentak sang mama.

Meyna menghela napas. Ia lalu bangkit dan berdiri tepat di hadapan mamanya. "Mama mau Meyna lakuin apa? Bilang aja, Ma. Nggak perlu siram Meyna pakai air."

Mamanya mendecih. "Sana nyuci baju!" perintah mamanya.

Meyna langsung saja melenggang pergi dari hadapan mamanya tanpa mau mendengar celotehan mamanya yang hanya membuat kepalanya pusing bukan main.

Melihat anak keduanya hanya diam membuat Fara menghela napas lantas memilih untuk pergi dari kamar Meyna.

Dalam waktu sepuluh menit, Meyna sudah selesai berganti pakaian. Ia lantas melangkahkan kakinya untuk keluar kamar. Pandangan pertama yang ia lihat adalah abangnya yang tengah menelfon seseorang. Meyna yang enggan bertanya pun, langsung saja pergi menuju kamar mandi yang ada di dekat dapur.

Sesampainya di sana, ia melihat begitu banyak pakaian yang harus ia cuci. Ada yang berbahan tebal, ada pula yang berbahan tipis. Meyna menghela napas sembari mengusap surai nya kasar.

Meyna sebenarnya tak masalah jika ia harus mencuci sebanyak apa pun. Tapi, melihat cara mamanya membangunkan dirinya tadi, itu membuat Meyna muak.

Terkadang, Meyna selalu membayangkan. Apakah ia bisa mendapatkan perlakuan baik dari orang tua serta adik dan abangnya? Terkadang juga, Meyna lelah sendiri dengan dirinya yang selalu mengemis belas kasih. Ingin mengucap apa yang ia rasakan saja, rasanya Meyna enggan. Ia terlalu takut dengan respons yang akan mereka berikan nantinya.

"Udahlah Mey, kerjain aja! Jangan bayangin yang enggak-enggak! Kamu nggak akan pernah dapet perlakuan itu!" Meyna langsung masuk ke dalam kamar mandi bersiap untuk mencuci pakaian.

Tanpa Meyna sadari lagi, di dekat kulkas, terdapat Kaivan yang mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Meyna barusan. Menghela napas kasar, Kaivan menutup pintu kulkas dengan kencang.

"Bikin otak pusing aja tuh anak!"




.....




Halo, aku update nih

Jangan lupa vote dan komen supaya aku semangat untuk update yaa

Sampai jumpa di chapter selanjutnya ❤️

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang