Forgive Me; 16

44 8 0
                                    

FORGIVE ME
.
.
.
.
HAPPY READING





Pagi hari sekali, Meyna sudah mendapati Reyhan berada di depan rumahnya dengan seragam sekolah yang lengkap. Meyna keluar dari gerbang rumahnya dengan terus menyembunyikan wajah di balik Hoodie yang sedang ia pakai.

Reyhan menautkan alis tatkala mendapati Meyna yang sama sekali tak menatap ke arahnya. Sedari tadi Meyna hanya menundukkan kepala sembari terus mengutak-atik jarinya tak menentu.

"Lo kenapa, Mey?" tanya Reyhan dengan berdiri di hadapan Meyna.

Gelengan kepala Reyhan dapati. Namun, Reyhan masih belum puas dengan respons yang diberikan. Reyhan ingin Meyna menampakkan wajah cantik yang selalu Reyhan lihat itu.

"Tatap gue, Mey. Gue nggak yakin kalau lo baik-baik aja." Reyhan menarik dagu Meyna supaya Meyna bisa mendongak menatapnya. Namun, Meyna tetap dalam pendirian untuk tidak menunjukkan wajahnya yang terlihat tak karuan itu.

Reyhan yang penasaran pun membuka paksa tudung Hoodie yang dipakai Meyna itu. Meyna menatap Reyhan tajam lantaran telah membuka paksa padahal dirinya tak mau. Meyna menghela napas kasar lantas berbalik badan hendak pergi dari hadapan Reyhan. Namun, dengan cepat Reyhan menarik tangan Meyna membuat Meyna kembali menghadap ke arahnya.

Reyhan menatap sayu sahabatnya ketika melihat banyaknya luka yang ada di wajah cantik itu. Sorot mata Meyna pun seolah menandakan bahwa dirinya tak baik-baik saja saat ini. Reyhan hancur. Hancur melihat Meyna terluka seperti ini.

Reyhan mengikis jarak antar keduanya, ia lalu membawa tubuh mungil Meyna untuk ia dekap. Reyhan mengusap surai Meyna dengan lembut. Tak berselang lama, isak tangis mulai terdengar dari mulut Meyna.

"Nangis aja, Mey. Nanti cerita sama gue kalau udah baikan, ya...?" bisik Reyhan tepat di samping telinga Meyna.

Meyna menganggukkan kepala ketika mendengar itu. Entah mengapa setelah kejadian kemarin, Meyna tak bisa sekedar menahan tangisannya satu detik saja. Meyna terlalu sakit ketika menyadari bahwa ia telah berbuat kesalahan besar yang berakibat fatal bagi temannya dan berujung meninggal dunia.

Meyna ... terlalu bersalah dalam hal ini. Demi apa pun, jika saja waktu bisa diputar kembali, ia akan berusaha selalu ada untuk temannya dan bisa menyelamatkan Kila saat detik terakhir akan lompat dari lantai paling atas di sekolah.

Meyna semakin mengeratkan dekapan dari Reyhan. Tak tahan menahan air mata di kali ini, Meyna merasa bahwa ia tak sanggup jika ia harus datang ke sekolah dengan kondisi seperti ini.

"Gu-gue nggak mau sekolah," lirihnya dengan suara yang terdengar serak.

Reyhan menganggukkan kepala dengan tangan yang tak henti-hentinya mengusap punggung Meyna lembut. "Iya, nanti kita ke danau aja, ya? Gue bakal temenin lo."

Meyna sontak melepas dekapan ketika mendengar ucapan yang dilontarkan oleh Reyhan barusan. "Lo harus sekolah, Rey. Jangan ikutin gue, nanti nilai lo berkurang."

Reyhan tersenyum tipis dengan menggelengkan kepala. "Nggak, Mey. Kalau lo nggak masuk, gue juga nggak akan masuk. Daripada di rumah, nanti kena marah sama orang tua, lebih baik kita ke tempat yang kita suka, kan?"

Sudut bibir Meyna tertarik membentuk senyuman manis. "Makasih, Rey. Maaf kalau lo harus terjerumus ke masalah gue terus."

"Nggak usah ngomong kayak gitu, Mey. Kayak sama siapa aja. Bila perlu lo cerita kenapa wajah lo bisa kayak gini, daripada dipendam sendiri, kan?"

"Maaf, Rey. Cukup gue aja yang ngerasain."

"Oke kalau lo maunya gitu, Mey. Gue juga nggak bisa maksa."

"Makasih, Rey."

Forgive Me

Jovan melangkahkan kakinya cepat mencoba mencari-cari keberadaan gadis yang selalu ia perintah. Hatinya panik lantaran belum mengerjakan PR matematika-nya. Jovan mengusap surai nya dengan kasar lantaran tak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu berangkat ke sekolah. Bahkan, Reyhan yang biasanya datang pun tak datang juga.

Jovan yang frustasi pun bangkit dari duduknya sembari mengeluarkan bungkus rokok yang sedari tadi ia taruh di saku celananya. Suasana hati Jovan sedang tidak baik-baik saja saat ini. Bahkan, di sudut bibirnya terdapat luka yang sama sekali belum ia obati.

Jovan melangkah dengan gerakan yang cepat lantaran sebentar lagi akan berbunyi. Selangkah lagi hendak masuk ke rooftop. Tiba-tiba saja Jovan mendengar suara seseorang yang tengah menelpon. Jadi, Jovan menghentikan langkahnya tepat di depan pintu rooftop.

Jovan mendekatkan telinganya ke pintu yang sedikit terbuka. Ia seolah mengenal suara seseorang yang tengah menelpon itu. Itu seperti suara Naufal, ketua kelas di kelasnya.

"Tolong deh, gue nggak mau berurusan sama lo lagi. Gue udah cukup kapok sama kasus Kila. Jadi, nggak usah bawa-bawa gue lagi."

Jovan dengan jelas mendengar kalimat itu. Kalimat yang membawa-bawa nama Kila di dalam percakapan. Apa sebenarnya yang Naufal tutupi di depan semua orang? Apakah mungkin Naufal ada sangkut-pautnya dengan kematian Kila?

Sebenarnya Jovan cukup muak ketika lagi dan lagi Kila yang menjadi bahasan. Bukan karena apa, banyak sekali orang-orang yang membawa-bawa namanya atas kematian Kila. Orang-orang selalu beranggapan bahwa ialah yang membuat Kila hamil. Padahal, menyentuh dan mendekati Kila saja Jovan tak pernah.

Tak lama setelah itu, pintu terbuka dengan menampakkan Naufal yang menatap kaget ke arah Jovan. Jovan melempar senyuman tipis di bibirnya. Membuat Naufal tampak panik.

"Lo kenapa di sini?" tanya Naufal dengan wajah yang masih terlihat paniknya.

Jovan tersenyum smirk lantas masuk ke dalam rooftop tanpa mau menjawab ucapan yang dilontarkan oleh Naufal. Naufal menghela napas lalu melenggang pergi dari rooftop.

Melihat kepergian Naufal, Jovan terkekeh pelan. "Apa lo ada hubungannya sama kematian Kila, Naufal?" gumamnya.

Jovan menghela napas lantas duduk di bangku yang memang tersedia di sana. Ia membuka bungkus rokok lantas mengeluarkan satu batang rokok. Dengan begitu, ia lalu menyalakan korek api dan mengarahkan pada ujung rokoknya. Lantas, ia menghisap rokok itu.

Setidaknya, dengan merokok pikiran yang tadinya kalut kini perlahan berubah menjadi tenang. Tak peduli dengan kesehatannya akibat keseringan merokok, yang terpenting ia dapat merasakan ketenangan meskipun hanya sebentar.

Jovan menundukkan wajah sembari memijat pelipisnya pelan. "Kapan gue tenang, ya? Capek banget harus terus-menerus berhadapan sama iblis."

"Setidaknya sekali seumur hidup, kapan gue ngerasain ketenangan? Boro-boro mau bahagia kalau tenangnya aja nggak gue temuin."

"Rumit banget hidup, kepengen mati tapi inget kalau banyak dosa."

Jovan mengusap wajahnya kasar. "Stres gue lama-lama!"





....

Haii, aku update nihh

Jangan lupa vote dan komen yaa, supaya aku semangat buat upp

Forgive MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang