FORGIVE ME
.
.
.
.
HAPPY READINGSaat jam istirahat, Meyna berjalan menyusuri koridor demi berjalan menuju kantin untuk membelikan makanan yang diperintahkan oleh Jovan. Entahlah, sebenarnya ia sudah begitu muak menuruti perintah dari Jovan itu. Tetapi, ia juga tidak bisa berbuat apa pun lagi selain menurut untuk saat ini.
Meyna menghentikan langkah ketika Darren berlalu tepat di hadapannya. Tatapan Darren datar dengan wajah yang terlihat tajam seolah akan menerkam orang detik ini juga. Meyna tahu betul, jika Darren masih membencinya.
Meyna menggelengkan kepala lalu melanjutkan langkah yang tadi sempat terhenti. Dan ketika ia sampai di area kantin, ia menghela napas dengan kondisi kantin yang ramai sekali. Meyna tidak terlalu menyukai tempat ramai, jadi ia justru memundurkan langkah lalu pergi dari area kantin tanpa memikirkan perintah yang Jovan berikan tadi.
Lima menit berlalu, Meyna kembali ke hadapan Jovan dan Keynan dengan tangan kosong. Tentu itu mendapatkan tatapan tajam dari Jovan selaku orang yang memerintah Meyna tadi. Keynan yang melihat tatapan itu pun, hanya bisa menggelengkan kepala.
Keynan lalu melenggang pergi dari hadapan Jovan. Namun sebelum itu, ia mendekat ke arah Meyna seraya berkata. "Hati-hati, Mey. Jovan kalo udah ngamuk ngeri," ucap Keynan lalu pergi begitu saja.
Meyna menundukkan kepala. Ia tak tahu harus melakukan apa lagi. Ia begitu ceroboh lantaran melewati kantin karena banyak orang. Harusnya, ia bisa melawan egonya daripada harus ribut dengan lelaki yang bernama Jovan itu.
"Mana pesanan gue? Kenapa lo kembali dengan tangan kosong?" tanya Jovan dengan nada yang sedikit menusuk.
"Ta-tadi kantin rame banget, Van. Gue gak suka tempat ramai, jadi gue gak beliin pesanan lo." Meyna meremat kuat-kuat jemarinya.
Jovan mendengus kesal ketika mendengar itu. Ia lalu melangkah maju dan mendekat ke arah Meyna. "Lo bisa gak sih, gak usah nurutin ego lo itu?! Lo tau kan kalau gue laper?! Kenapa gak masuk aja sekalian ke kantin, keramaian gak bakal bikin lo mati!"
Meyna yang sedikit kesal pun menatap Jovan tajam. "Bisa gak sih, Van. Kalau ngomong gak usah nusuk gitu? Gue udah cukup sabar hadapin sikap lo selama ini. Sekali ... aja Van. Bersikap lembut," ucap Meyna dengan nada yang sedikit meninggi.
Jovan mendecih ketika mendengar itu. "Ohhh jadi sekarang lo udah berani lawan gue, ya?"
"Alasan lo benci gue itu kenapa sih, Van? Gue ada salah apa sama lo?! Lagian kalau lo laper, lo kan bisa jalan sendiri ke kantin, daripada harus nyuruh orang!"
Jovan menatap Meyna dengan tatapan penuh benci. "Lo adalah adik dari Kaivan! Di mana dia yang udah buat ibu gue lumpuh dan berakhir meninggal karena depresi!" sentak Jovan tepat di hadapan wajah Meyna.
Meyna yang mendengar itu pun termangu di tempat. Ia menatap Jovan tak menyangka. Ia juga tak menyangka jika abangnya bisa setega itu membuat ibu dari seseorang lumpuh. Kenapa masalah sebesar ini abangnya tutupi?
Rasa kecewa perlahan mulai menyeruak masuk ke dalam hatinya. Sungguh tak pernah disangka jika sang abang ternyata memiliki kasus yang besar.
Jovan tertawa remeh ketika melihat Meyna yang terlihat terkejut itu. "Lo kaget, kan?! Kalau gue liat muka lo, gue selalu keinget sama Kaivan! Lebih baik gue buat lo sakit aja, kan? Karena gue gak bisa ketemu sekali pun sama Kaivan brengsek itu!"
Meyna mengepalkan tangannya. "Kenapa harus gue?" tanya Meyna dengan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk mata.
Jovan menautkan alisnya heran ketika mendengar itu. "Kenapa harus lo? Ya karna cuma lo yang bisa gue temui di sini!"
"Tapi itu salah abang gue, bukan salah gue! Kenapa lo sama ratakan?!"
Jovan yang mendengar itu pun bergeming. Melihat Meyna yang menitikkan air mata karena ulahnya, membuat ucapan sang ibu kembali terngiang-ngiang di otaknya. Hatinya seolah teriris seiring berjalannya detik waktu yang berjalan.
Meyna bersimpuh tepat di hadapan Jovan dengan wajah yang ditutupi oleh telapak tangan. Suara tangisan yang keluar dari mulut Meyna semakin terdengar menyakitkan. Rasanya begitu aneh, Jovan baru merasakan perasaan seperti ini. Seperti rasa iba, tapi terhalang oleh sifat egoisnya.
"Gu-gue ju-juga gak tau kalau abang gue nyembunyiin ini semua, Jovan. Bahkan, mungkin aja orang tua gue juga gak tau." Meyna semakin sesenggukan sehabis menjelaskan itu.
Jovan menghela napas panjang lalu menatap Meyna dengan tatapan datar. "Ibu gue udah gak ada, dan gue simpulkan bahwa itu karna ulah abang lo."
Jovan langsung saja pergi dari hadapan Meyna yang masih menangis. Meyna menatap kepergian Jovan dengan air mata yang terus saja mengalir deras. Rasanya begitu sakit ketika mendengar fakta barusan. Ia tahu rasanya jadi Jovan. Hidup tanpa didampingi peran ibu saja sudah begitu sulit, apalagi Jovan yang harus ditinggal oleh ibu untuk selamanya.
"Ma-maaf ...."
Forgive Me
Meyna berjalan di sore hari dengan tatapan kosong seolah tak memiliki keinginan untuk hidup lagi. Bahkan, suasana indah sore ini pun tak membuat diri Meyna melirik maupun merasa tenang sedikit pun.
Ucapan Jovan terus saja terngiang dengan rasa kecewa pada abangnya yang terus membesar. Meyna bahkan tak tahu lagi dengan cara apa lagi dirinya bisa menemukan ketenangan.
Setelah lima belas menit berjalan kaki dari taman. Kini Meyna sudah memasuki jalanan sepi sebelum masuk ke dalam komplek. Meyna sempat menghentikan langkah ketika merasa ada seseorang yang mengikuti di belakang. Namun, seolah dilihat ke arah belakang, tak ada siapa pun yang terlihat.
Meyna kembali membalikan tubuhnya serta kembali berjalan agar cepat sampai ke rumahnya. Namun, sebelum berjalan, secarik kertas terbang tepat sekali di depannya. Dengan begitu, Meyna meraih kertas itu dan mencoba untuk membaca tulisan yang ada di selembar kertas itu.
Jangan pernah buka suara atau lo bakal mati
Meyna mengerutkan keningnya. Ia menoleh ke sana kemari demi mencari-cari seseorang yang telah menulis di kertas ini. Hasilnya pun nihil, ia tidak menemukan siapa pun.
"Maksudnya apa, ya? Apa ini Naufal? Soalnya dia ketahuan ikut andil dalam kematian Kila. Kalau bener ini Naufal, kenapa dia gak langsung bilang aja ke gue?" ucap Meyna dengan menggaruk tengkuk yang tidak terasa gatal sama sekali.
Rasa gelisah yang Meyna rasakan tadi pun berganti menjadi rasa penasaran. Siapa yang sudah mengirim pesan ini? Dan apa benar itu Naufal?
"Siapa sih yang udah kirim ini? Semakin penasaran sama orang yang bikin Kila hamil, kira-kira siapa...?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me
Fiksi RemajaPerihal gadis yang menjadi bahan untuk meluapkan emosi. Gadis yang menahan emosinya sendiri. Gadis yang selalu bingung harus berpulang ke mana. Ketenangan seolah tak pernah berpihak pada gadis itu. Masalah keluarga, teman, dan masalah yang lainnnya...