FORGIVE ME
.
.
.
.
HAPPY READINGMeyna memasuki rumahnya dengan tatapan datar. Namun, bukannya ia mendapat ketenangan saat pulang, ia justru melihat orang tuanya tengah bertengkar di ruang tengah. Meyna menghela napas panjang. Ia ingin tenang, apakah tidak bisa? Mengapa orang tuanya tidak pernah selesai dalam hal keributan?
Meyna berjalan mendekat ke arah keduanya. Barang-barang berserakan di mana-mana. Bahkan, vas bunga kesayangan mamanya pun sudah hancur lebur tak tersisa. Kali ini, pertengkaran dari orang tuanya tidak hanya sekedar kata-kata. Meyna bahkan melihat dengan matanya sendiri bahwa sang papa menampar pipi mamanya.
Meyna mendekat lalu menarik tangan mamanya untuk menjauh dari arah sang papa. "PAPA!" sentak Meyna dengan memberikan tatapan tajam.
Adi yang melihat putrinya ikut campur pun naik pitam. Tatapan matanya tak kalah tajam dengan Meyna. Ia mendekat ke arah Meyna lalu memberikan tamparan cukup keras di pipi putrinya itu.
"Gak usah ikut campur urusan orang tua!" hardik papanya.
Meyna tertawa remeh ketika mendengar itu. "Apakah patut, orang tua berantem di depan anaknya?! Lihat di sana!" tunjuk Meyna pada adiknya, "ada Dannesa di sana! Mikir Papa!"
"Papa nggak peduli! Mama kamu cuma bisa ngatur Papa! Dia sama sekali nggak memberikan solusi atas hidup kita. Jadi kamu tidak usah ikut campur!"
Sang mama pun hanya diam saja. Bahkan, melihat Meyna ditampar pun dia tampak biasa saja. Padahal di sini, ia berusaha untuk membela mamanya. Tapi tampaknya, mamanya itu memang sama sekali tidak peduli dengan dirinya. Meyna merasa sesak saat itu juga.
"Meyna capek lihat Mama dan Papa berantem," ucap Meyna lirih.
Sang Mama yang kini ada di samping Meyna pun tertawa remeh. Itu membuat Meyna langsung menatap ke arah sang mama dengan tatapan yang sayu.
"Mama lebih capek! Capek hidup miskin! Mama capek hadapin keluarga ini! Terutama kamu, Meyna!" sentak mamanya.
Lagi dan lagi, Meyna lah yang menjadi sasaran empuk atas emosi keduanya. Apakah selama ini mereka tidak pernah membuka mata? Kehidupan Meyna yang dianggap selalu tenang, nyatanya tidak setenang itu.
Meyna tahu, jika orang tua jauh lebih lelah dibanding anak-anaknya. Tetapi apakah Meyna salah, jika ia meminta keduanya untuk tenang? Di hadapan mereka ada anak yang selalu menyimpan lukanya sendirian. Ada anak yang tidak pernah dihargai pencapaiannya. Ada anak yang tidak pernah disayang sedari kecil.
Kali ini, Meyna sudah cukup lelah dengan tanggapan orang tua terhadapnya. Apakah salah, jika Meyna membela mamanya? Tetapi mamanya justru tidak menghargai usahanya. Dan dia justru menyalahkan Meyna atas semua yang terjadi.
Meyna menundukkan kepalanya. "Meyna juga capek, Mama ...."
"Capek apa kamu?! Kerjaan kamu cuma tidur dan pergi! Kamu capek apa selama ini, hah?!" Ucapan Meyna disangkal begitu saja oleh mamanya.
Meyna yang sudah untuk berbicara pun, langsung saja pergi menuju kamarnya. Karena sekeras apa pun usahanya untuk membela atau bersuara, ia tidak akan pernah didengar.
Sesampainya di kamar, Meyna duduk di dekat ranjang. Ia memeluk lututnya sendiri dengan buliran air mata yang sudah mengalir deras.
Meyna sudah cukup muak dengan pertengkaran antara mama dan papanya. Meyna ingin tenang, Meyna lelah hidup di bawah keluarga yang telah hilang keharmonisannya.
Hati Meyna cukup sakit ketika mendengar jawaban yang diberikan oleh mamanya barusan. Apakah lelah hanya untuk orang yang bekerja saja? Bukankah ketika pikiran buruk terus mendominasi otaknya, itu pun bisa dikatakan dengan lelah?
Kapan? Kapan orang tuanya akan peka dengan luka yang disimpan oleh anaknya sendiri. Kapan keluarganya akan mengerti, bahwa diasingkan itu tidak mengenakkan? Kapan itu semua akan terjadi?
Pada nyatanya, Meyna memang tidak perlu berharap banyak dengan keluarga ini. Mau bagaimanapun, benci akan tetap benci. Meyna tidak akan pernah mendapat kasih sayang yang ia idam-idamkan itu.
"Boleh gue ikut lo, La...?" gumam Meyna.
Meyna menekan kuat dadanya yang terasa sesak. Mengingat bahwa masalah hidup tidak akan pernah selesai sebelum ia pergi dari dunia. Dari mulai masalah Keynan yang ternyata pelaku utama di balik pemerkosaan Kila. Lalu ditambah lagi dengan masalah hidupnya sendiri yang tidak pernah menyentuh kata bahagia.
"Dunia jahat, La. Gue capek!"
Meyna memukul kuat dadanya yang terasa sesak. Sesak itu mulai menjalar ke rasa sakit pada kepalanya. Entahlah, Meyna pun tak tahu mengapa bisa jadi seperti ini. Tapi setidaknya, jika Meyna pingsan, Meyna bisa merasakan sedikit ketenangan bukan?
Pada akhirnya, pukulan Meyna mengarah pada kepalanya. Ketika kepalanya mulai terasa sakit, tangisan Meyna semakin kencang. Ia menghentikan pukulannya. Dan pada akhirnya, Meyna tidak bisa melakukan itu.
Entah mengapa, ia jadi ingat ucapan Reyhan. Jika ia pergi, Reyhan dengan siapa? Lagi dan lagi, hanya menangislah yang Meyna bisa lakukan.
Ketika telah lama terhanyut dalam tangisan, ponsel Meyna berbunyi. Dan ketika dilirik siapa yang memanggil, itu Reyhan. Melihat itu, Meyna tersenyum tipis. Ia menyeka air matanya lalu menerima panggilan telepon itu.
"Mey Mey ... lagi apa?"
Meyna menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Lagi belajar, Reyhan."
"Mey, suara lo kok kayak gitu? Lo habis nangis, ya? Kenapa Mey...?"
"Enggak, gue nggak nangis kok. Emang lagi pilek aja, makanya kayak gini."
"Bohong! Jujur sama gue, Mey. Kan udah bilang, kalau ada apa-apa telepon atau panggil gue."
Meyna menahan sesak kembali. Tentu saja air matanya kembali mengalir.
"G-gue ca-capek, Reyhan ...."
"Kenapa Mey? Keluarga lo lagi? Mey, mending lo tinggal di sini aja sama bunda. Pasti bunda juga nerima lo kok. Daripada hidup di rumah yang udah nggak memberikan kasih sayang lagi? Mereka apain lo lagi, Mey?"
"Gue nggak bisa, Rey. Mereka nggak apa-apain gue. Tapi gue sesek aja."
"Bohong kalau mereka nggak apa-apain lo, Mey. Buktinya lo sampe nangis gini?"
"Gue cuma capek, kenapa orang tua gue nggak pernah ngertiin anaknya? Mau itu gue, abang, ataupun adek gue, pasti mereka juga capek. Capek lihat orang tuanya kayak gitu."
"Mey ... tapi mereka nggak dapat perlakuan buruk kayak lo. Stop buat kasihan sama orang yang sama sekali nggak butuhin lo, meskipun itu keluarga lo sendiri."
"Tapi Rey, mau gimanapun, mereka tetep sodara gue. Ini semua salah orang tua gue, Reyhan. Gue capek liat mereka berantem."
"Jawab gue, Mey. Lo diapain sama orang tua lo?"
"Papa tampar gue, Rey."
KAMU SEDANG MEMBACA
Forgive Me
Teen FictionPerihal gadis yang menjadi bahan untuk meluapkan emosi. Gadis yang menahan emosinya sendiri. Gadis yang selalu bingung harus berpulang ke mana. Ketenangan seolah tak pernah berpihak pada gadis itu. Masalah keluarga, teman, dan masalah yang lainnnya...