Aku, (Nama), seringkali dikenal sebagai si cewek berandal. Apaan coba, anjir! Aku enggak senakal itu, tau.
Tapi orang-orang malah takut sama aku, padahal aku gak ngapa-ngapain cok! Sumpah, dah. Siapa coba yang hiperbola begitu!!
Aku jadi di cap buruk sama orang-orang bahkan guru juga nilai aku begitu. Ngepetlah. Padahal udah ada peribahasa Don't kedebak debuk the buk, tapi orang masih aja percaya sama tampang daripada isinya.
—
"(Nama), kamu piket hari ini 'kan? Boleh tolongin aku rapiin meja, gak? Soalnya yang lain udah pada pulang."
Aku menolehkan pandangan pada sosok lelaki yang mengajak ku bicara barusan. Yang berani ngomong sama aku tuh gak banyak, kalo gak berandal ya preman.
Rambutnya berwarna coklat gelap dengan helaian rambut berwarna putih di kanan kepalanya, pupil matanya berwarna emas, serta senyuman yang ada di wajahnya.
Jujur, aku enggak kenal siapa dia. Aku juga enggak pernah piket, njir. Mana aku tau kapan piketnya.
Untung aja aku bisa liat namanya dari nametag di seragamnya. Owalah, Gempa ternyata.
Gempa ini si ketua kelas, dia ini murid favoritnya guru-guru disini. Aku sering dibandingin sama Gempa, ternyata ini orangnya.
"(Nama), kamu ini perempuan, loh. Masa iya tingkah laku kamu begini? Coba kamu liat itu Gempa, dia kalem, murah senyum, suka bantu-bantu lagi! Coba kamu contoh dia."
Aku cuma bisa senyumin aja. Sialan, pantes aja aku dibanding-bandingin. Lagian mana adil, anjir! Aku yang istilahnya jelmaan iblis gini dibandingin sama Gempa yang bak malaikat?!
"(Nama)?" Gempa kembali memanggil selepas tak mendapat jawaban apapun.
Eh tapi si Gempa lumayan juga. Ganteng, njir. Seumur-umur, baru kali ini rasanya aku jatuh hati sama tampang cowok.
Terus, denger-denger si Gempa ini juga kembaran sama Halilintar— salah satu geng ku. Anjay wadadidaw, kayak langit dan bumi. Mukanya Halilintar tuh kusut, jelek, jutek. Tapi mukanya Gempa tuh cakep amat, cok. Kayak ada bling-bling nya.
Apalagi, kalo dari pengakuan Halilintar, si Gempa ini yang ngurusin semua kerjaan rumah. Dari nyapu, ngepel, masak, nyuci baju, nyuci piring, belanja, ngegosok baju, ngelipat baju. Woylah, ini mah idaman ku banget.
Apa aku pelet biar jadi milik ku, ya? Duh, ini mah harus make peletnya Adudu biar manjur.
"(Nama)!! Kamu gak apa-apa?" Gempa menyadarkan aku dari lamunanku dengan menepuk pundakku. Jir, inikah yang dinamakan cinta pandangan pertama?
"Eh, iya. Maaf," malu-maluin anjir! Baru juga ngobrol masa udah jatuh aja harga diriku ini?!
"Yaudah yuk, kita beresin kelas. Biar cepat selesainya." Gempa kemudian mengajakku untuk membersihkan seisi kelas sampai benar-benar bersih.
—
Gila, masa iya aku beneran suka sama Gempa? Padahal tau orangnya yang mana aja barusan tadi. Aku jadi galau, anjir.
Lagian, yang suka sama Gempa itu lumayan banyak, walaupun masih banyakan Halilintar. Tapi tetep aja! Auk ah, bete.
"Loh, (Nama)?" Kayak kenal sama suaranya, dan bener aja itu si Gempa. Jodoh emang gak kemana ya.
"Kok kamu belum pulang?" Tanya Gempa dengan heran.
Dia tadi agak lama di kelas, katanya sih dia lagi kunci kelas biar kelasnya enggak dipake sama anak-anak ekskul. Nanti kotor katanya.
"Ya, gapapa." Duh, aku bingung mau jawab apa.
'kan gak banget kalo ku jawab aku lagi nungguin sampe sore— biar enggak ketemu sama pemandangan gak mengenakkan di rumah.
Aku memandangi pemandangan yang dapat kulihat dari atas sini— di atas tembok yang mengelilingi sekolah.
Gempa mau diliat darimana aja tetap ganteng, anjir. Aku jadi tambah galau. Masa iya aku, seorang (Nama) beneran suka sama Gempa?
Yang bener aja?
"Anjing kaget!" Aku dikejutkan, ketika Gempa tiba-tiba sudah duduk disebelah ku.
"Ucapannya dijaga, (Nama)." Gempa sama aja kayak guru-guru yang suka ngingetin biar enggak toxic, tapi bedanya dia bilang gitu sambil senyumin aku.
Aku 'kan jadi baper.
"Hehe, udah kebiasaan sih." duh, aku jadi gak enak terus kalo lagi sama Gempa.
Padahal kalo lagi sama Halilintar mah, boro-boro gak enakan, peduli aja enggak.
Lagian si Gempa ini kenapa tiba-tiba nyamperin kesini sih? Enggak baik buat jantung.
"Aku temenin kamu bentar, deh." Gempa dengan santainya bilang begitu.
Mulutku terbuka, tapi tertutup lagi. Aku gak tau mau bilang apa. Dari gelagatnya sih, Gempa kayaknya tau aku sengaja lama pulang.
"Gak usah, aku emang biasanya nongki dulu sebelum pulang. Cuman hari ini si Halilintar lagi sibuk, makanya aku jadi gabut." Ucapku.
Gempa, Gempa, kamu tuh bahaya banget buat jantung, tau.
"Kamu deket sama kak Hali?" Nah, sekarang dia malah nanya sambil ngeliatin ekspresi ku. Aku malah jadi grogi.
"Enggak juga, cuman sekedar temen nongkrong."
Lagian mereka 'kan kembar, kok manggil si Halilintar kakak, coba?
"Baguslah." Gempa kayaknya bersyukur banget aku sama Halilintar enggak sedekat yang dia bayangkan.
Agak sakit, ya.
Tapi yaudahlah ya, wajar sih. Siapa coba yang mau punya kakak ipar yang malah nambah beban hidup?
Eh tapi akunya juga gak mau jadi kakak ipar gempa, sih. Halilintar itu galak, anjir. Aku mana tahan sama modelan yang begitu.
Walau tahan banting begini, aku ga mau punya suami yang asal dapet, jir. Yakali.
Kalo dapet modelan suami yang pengertian itu rasanya mustahil, sih. Aku sadar diri, tapi aku juga gamau dapet yang suka mukul, anjir.
Aku kan juga mau punya suami idaman, Gempa contohnya.
"Berarti aku bisa nyoba deketin kamu 'kan, (Nama)?" Wajah Gempa mendekat, senyumnya tak kunjung luntur dari wajahnya itu.
Hah?
Anjir, apaan nih? Maksud terselubung? Kata-katanya Gempa kok ambigu, ya. Ah, gak mungkin deh. Kayaknya aku kepedean, kebanyakan baca wattpad kayanya.
"Sebenarnya.. aku udah suka sama kamu dari awal kita masuk, (Nama).. cuman aku gak berani deketin kamu, karena kamu nempel sama kak Hali."
Gempa menjeda kalimatnya. "Waktu itu, kupikir kalian pacaran, makanya aku mundur."
"Tapi baguslah, ternyata aku salah paham. PDKT-an dulu juga gak apa-apa, boleh ya, (Nama)?"
Tunggu, kira-kira ini kejadian bejir atau waduh?
"ANJING??" Aku reflek kaget, lah. Baru juga menghayal soal Gempa, masa iya udah jadi kenyataan aja.
"Mulutnya, (Nama)!"
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.