"Maaf." Satu kata penolakan yang singkat dilontarkannya kepadaku.
Meruntuhkan seluruh keberanian yang susah payah aku kumpulkan hanya demi menyatakan cintaku pada dirinya seorang.
Tetes demi tetesan air mata mengucur deras layaknya air mengalir. Membasahi tiap seluk fitur wajahku.
Rasanya sakit. Seolah seluruh tubuhku dibelah dua bagaikan pinang. Hatiku hancur, saat penolakan lah yang aku dapatkan.
Ia bahkan tak ragu untuk mengatakannya. Seolah, memang aku tidak memiliki tempat sepenting itu di hatinya.
"Jangan pernah temui aku lagi." Ia membalikkan tubuh, memperlihatkan punggung tegak miliknya kepadaku. Perlahan-lahan mulai melangkahkan kakinya menjauh dari pandanganku.
Aku terduduk lemas. Aku kira, ia memiliki perasaan yang sama denganku. Bercanda tawa, menjalankan misi, berlatih, menjalankan hukuman, bahkan menyusuri hutan antah berantah.
Baik aku, maupun Sai, kami sudah sangat dekat satu sama lain. Hingga tak pernah terpikirkan olehku bahwa ia akan menolakku mentah-mentah.
"Dasar bajingan sialan." Aku mengumpat, mengusap air mata yang membasahi wajahku.
Bisa-bisanya aku menyukai pria sepertinya. Aku benar-benar bodoh. Sangat amat bodoh.
—
"(Nama), kamu baik-baik saja? Matamu bengkak.." Taufan menunjuk ke arah wajahku.
Memang benar, aku menangisi kepergian Sai yang menolakku dengan tegas. Aku hanya... Masih belum dapat merelakannya.
"Ya. Aku tidak apa-apa." Aku mengacuhkannya.
Aku beralih duduk pada kantin markas, mendudukkan diriku dengan nyaman sembari menikmati makan siang milikku. Tentunya dengan umpatan-umpatan yang memenuhi isi hatiku yang ku tujukan untuk Sai.
Taufan menghela nafasnya karena sifat keras kepalaku yang tak ingin terus terang walaupun jelas-jelas penampilanku yang kusut ini sudah mengatakan fakta kejadian yang berlaku.
"Petang nanti... Kamu free, gak?" Taufan mendekatkan dirinya padaku. Kepalanya ditolehkan ke arahku dengan tatapan penuh harap, seolah memaksaku untuk menjawab 'Ya' pada pertanyaan yang diajukannya.
Aku berpikir untuk sejenak. Sehabis waktu istirahat ini, aku masih harus membersihkan lobby dan mengerjakan laundry busuk milik para alien-alien yang merantau di berbagai planet.
Persetan dengan tugas.
Aku butuh healing sehabis patah hati. Kebetulan Taufan juga enak dipandang, lebih ganteng dari Sai. Karena aku habis ditolak, ketampanan Sai menurun sekitar 990% bagiku.
"Iya. Aku free."
—
"Nih." Taufan menyodorkan sebuah celemek berwarna merah muda untukku. Sedangkan ia sudah mengenakan celemek yang berwarna biru menutupi tubuhnya.
Aku tidak suka pakai celemek. Lagipula, aku lumayan bisa memasak. Memakai celemek itu hanya membuang-buang waktu.
Aku hanya bisa pasrah saat diseret ke dapur. Aku tau, Taufan berupaya untuk memghiburku, tapi tetap saja aku tak menyangka ia akan menyeretku untuk memasak.
"Kita mau masak apa?" Aku bertanya tanpa mengalihkan pandanganku dari celemek yang ada di tanganku. Aku sedang menimbang-nimbang untuk memakainya atau tidak.
Aku memilih untuk memakainya.
Aku tak tega menolak Taufan yang sudah effort mau menghiburku.
"Oh? Aku mau buat biskuit. Bantuin aku yaa? Plissss." Taufan menyatukan telapak tangannya dan menjulurkan lidahnya keluar dari bibirnya. Kedua kelopak matanya menutupi pupil matanya saat dia memohon begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.