Desiran ombak menembus permukaan kulitku. Rasa sejuk melengkapi diiringi dengan rasa pelu kesah yang bercampur aduk dalam diriku. Aku sudah tak berdaya melanjutkan perjalanan, akhir dari perjalanan ini sudah tertebak olehku.
Jejak kaki tertinggal sepanjang pasir-pasir halus yang terinjak. Mengikuti sesosok pria yang gagah berani, memberantas seluruh kemunafikan dan kedurjanaan yang ada di semesta.
Boboiboy— seorang kapten dari organisasi yang bernamakan TAPOPS. Seorang cucu dari pedagang minuman cokelat, Tok Aba. Seorang pahlawan kebanggaan pulau Rintis.
Pemilik hatiku.
Hubungan kami tak pernah tak baik. Hanya saja, Boboiboy tak pernah dapat menetap di bumi. Yang dimana, membuatku tak merasa bahwasanya aku sedang menjalin suatu hubungan romantik dengannya.
"(Nama)." Suaranya yang ku rindukan memanggil. Ini kali pertama aku melihat Boboiboy selepas kepulangan terakhirnya di bumi— sekitar setahun yang lalu.
Sama sekali tak ada alternatif yang dapat ku gunakan untuk menjalin komunikasi selama Boboiboy bekerja di luaran sana. Terlepas dari perbedaan zona waktu, bumi juga tak mempunyai semacam teknologi berkembang untuk mengkoneksikan jaringan antara bumi dan luar angkasa. Belum lagi Boboiboy ini selalu berpindah-pindah planet.
Langkahku terhenti. Sepanjang perjalanan tadi, aku menunduk memandangi kakiku yang dikerumuni pasir. Sesekali diguyur oleh sejuknya permukaan air dari lautan.
Warna oranye bercampurkan merah mewarnai langit, mempertontonkan sebagaimana sang mentari perlahan turun dari singgasananya sebagai tanda pergantian waktu.
Dulu sekali, aku sering mengajak Boboiboy bermain di pantai ini. Bermacam-macam hal sudah kami lakukan. Bermain voli, membangun istana pasir, mengumpulkan kerang-kerangan, mencari harta karun tersembunyi, bahkan menjahili anak-anak kecil di sekitaran.
"(Nama), lihat aku." Suaranya dipertegas, selepas tak kunjung mendapatkan suatu reaksi dariku.
Ah. Aku terlalu lama melamunkan masa lalu.
Aku mendongak. Mendapati sosok pria yang aku cintai tepat di hadapanku, menatapku dengan tatapan sendu. Tatapannya itu membuatku semakin ingin menangis kuat.
Fisik Boboiboy telah banyak berubah. Dulu sekali— saat terakhir kali aku melihatnya, Boboiboy hanya berbeda 3 cm dari tinggiku. Tapi sekarang, ia sudah menjadi seorang pria matang, setelah menginjak masa pubertas. Mulai tumbuh kumis tipis di atas bibirnya, serta-merta tubuhnya yang semakin berkembang menuju kedewasaan.
Kami selalu bersama, tidak sampai alien bertubuh pendek membawanya pergi dariku. Boboiboy memilih jalan yang sama sebagaimana Ayahnya. Membiarkan orang-orang terkasihnya terbengkalai tanpa adanya kepastian yang benar-benar pasti.
Mengiris hatiku hingga sayatan-sayatan terakhir, hanya demi menunggu kepulangannya seorang. Dahulu, janjinya untuk selalu berada di sisiku amat ku pegang teguh, mengharapkan suatu keajaiban yang membawanya pulang, agar aku dapat sekedar melepas rindu.
"Jangan menangis." Tangan kekarnya meraih wajahku, mengusap permukaan wajahku yang terlanjur basah karena air yang lolos dari ekor mataku.
"Maaf." Bisiknya. Tatapannya bertemu denganku, meratapiku dengan tatapan penuh rasa bersalah. Ia masihlah Boboiboy yang ku kenal. Boboiboy yang pelupa dan seringkali menyesali kecerobohannya.
Seolah merasakan pilu yang kurasakan, angin membisikkan kata-katanya. Menerpa rambutku terbang berhamburan ke udara.
Aku tak sanggup berkata-kata. Aku tau, maksud dan tujuan Boboiboy mengajakku bertemu sesaat setelah kapal angkasanya di daratkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
Roman d'amourCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.