Aku menghentakkan kakiku, berdebat dengan pikiranku sendiri. Aku sedang galau, mending pilih dress yang warna hitam atau merah, ya? Aduh, mana dua-duanya cakep lagi. Seleraku banget. Fancy high class begitu.
"Mbak, bungkus yang ini."
Aku sudah memutuskan, daripada bingung-bingung mau milih yang mana, mending beli dua-duanya.
Si mbak-mbak yang ku maksud langsung membungkuskannya dan memberikannya padaku. Dress beginian doang palingan berapa. Gajiku lumayan cukup kalau dibuat foya-foya.
Aku menenteng tiga buah totebag yang berisikan barang-barang mewah pilihanku. Ini tuh healing terbaik. Kalau lagi stress aku memang larinya ke mall, cuman sekedar buat buang-buang duitku yang kebanyakan.
"Hehehe, enaknya hari ini makan malam apa, ya?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Hidup sendirian gini bebas banget mau ngapa-ngapain aja. Minusnya cuma satu, aku jadi agak kesepian.
—
Aku memasukkan kode pada Lock Door apartemenku, dan melangkahkan kaki masuk ke dalam. Apartemen ini cukup besar untuk hanya ditinggali seorang diri, luasnya udah kayak rumah kalo kataku.
Aku menaruh barang belanjaanku pada sofa. Aku mau masak dulu, laper. Urusan perut itu harus diprioritaskan.
Jangan salah, aku gak bisa masak. Aku cuma mau menyeduh mi instan yang kebetulan sengaja di stok di dapur. 'kan gak lucu kalau aku mati kebakar perkara nyoba-nyoba masak.
Baru saja aku hendak menyalakan kompor untuk memanaskan air, seseorang mengetuk pintu kamar apartemenku.
"Iyaa, sebentar!" Aku berlari menghampiri pintu.
Aku sedang tak mengundang siapa-siapa, tak ada memesan barang secara online juga. Apa ini orang mau nagih hutang? Tapi aku gak punya hutang.
Aku membuka pintu. Tanpa aku sempat menunjukkan reaksi apapun, orang itu mendorongku masuk dan langsung mengunci pintu yang ada di belakangnya.
Aku shock. Aku kaget. Aku membeku di tempat. Pergelangan tanganku digenggam erat olehnya.
"(Nama)." Lelaki itu berucap. Dia menyingkirkan helaian rambutku yang menutupi wajahku, menaruhnya di belakang telingaku dengan senyuman khas miliknya.
Aku merinding sekujur tubuh. Air mata berkumpul di pelupuk mataku. Aku tak ingin mengaku, tapi aku cukup merindukannya. Tapi rasa kengerian lebih mendominasi perasaanku saat ini. Aku takut.
"(Nama), aku sangat merindukanmu. Kenapa kamu tak pernah mengunjungiku? Tiap jam, tiap menit dan detik yang berlalu, aku terus memikirkanmu." Lelaki itu— Gempa, berbisik di telingaku. Dia memainkan rambut hitamku. Menatapku begitu lekat, seakan dia hendak menerkamku.
"K-kapan kamu—?" Aku tak bisa. Memori waktu itu terus terulang di benakku, tak peduli seberapa keras aku mencoba melupakannya.
Gempa tersenyum lembut, yang membuatku semakin merinding sekujur tubuh. Lututku gemetar, aku tak bisa menahan bobot tubuhku sendiri.
"Ah? Iya juga. Kamu taunya aku dihukum mati, ya." Gempa terkekeh, dia mengecup singkat sisi wajahku. Membuat jantungku berdetak dengan tempo yang begitu cepat, aku takut.
"Aku, dikeluarkan. Kak Halilintar yang mengurusnya. Mungkin saudara-saudaraku tak ingin reputasi mereka rusak, lantaran ada seorang yang membusuk di penjara." Gempa mendaratkan tangannya pada pipiku, mengelusnya dengan penuh kasih sayang.
Aku menundukkan kepalaku. Aku tak bisa menatap manik matanya yang bersinar terang. Setelah menyaksikan peristiwa itu, segala hal tentang Gempa menjadi menyeramkan bagiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.