Keadaan di istana Kupuri begitu gaduh, dikarenakan kepulangan dari pangeran pertama yang berhasil memenangkan peperangan yang dipimpin langsung oleh Tuanku Kuputeri.
Kemenangan yang begitu memuaskan, Tuanku Kuputeri berhasil menumpas kejahatan dan menyelamatkan seluruh rakyat Windara.
Makanya, aku jadi sibuk mempersiapkan perjamuan makan untuk merayakan kembalinya para penguasa Windara, Pangeran Maripos dan Tuanku Kuputeri.
Aku berlari kesana-kemari, dioper dari ruangan A ke ruangan B hanya demi menjalankan perjamuan hidangan ini dengan baik. Setidaknya, aku dan para pelayan yang lain ingin membalas budi dengan ini.
Para pelayan sontak berbaris di kedua sisi karpet merah yang digelar pada pintu masuk kerajaan, menunduk hormat kepada Kuputeri yang berjalan beriringan masuk dengan Maripos.
"Selamat atas kemenangannya, Tuanku, Pangeran Maripos." Ucapku serentak dengan pelayan yang lain.
Tuanku Kuputeri tertawa kecil atas kekompakan kami menyambutnya dengan meriah.
"Beta tak mengharapkan ini. Terimakasih semua." Tuanku memuji ke-inisiatifan kami semua. Aduhai, Kuputeri memang baik sekali. Aku jadi klepek-klepek.
Kuputeri berjalan diatas karpet merah yang digelar khusus untuk beliau. Aku sedikit mengintip disaat aku menunduk hormat, dan mataku langsung bertemu dengan netra Kuputeri.
Sontak, bagai waktu terhenti, Kuputeri melancarkan telepati begitu kami bertatapan mata.
"(Nama), bagaimana keadaannya?" Kuputeri bertanya dengan khawatir.
"... Saya minta maaf, Tuanku." Aku tak bisa berbuat lebih. Aku benar-benar merasa bersalah karena tak dapat menuntaskan tugas yang diberikan Kuputeri.
—
Aku memegang nampan yang berisikan makanan dari hidangan perjamuan. Perjalananku menyusuri lorong begitu sunyi, karena para pelayan yang lain tengah berada di ruangan perjamuan.
Hingga sampailah aku pada destinasi tujuanku. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya, sembari mempersiapkan mentalku.
Tok, tok, tok.
Aku mengetuk sebanyak tiga kali pada pintu yang berbalutkan emas. Pada kamar pribadi pangeran kedua kerajaan Windara. Pangeran Beliung.
Tak ada jawaban, aku pun memberanikan diri dan membuka pintu. Menginjakkan kaki kedalam ruangan yang gelap gulita itu.
"Permisi, Pangeran." Aku meletakkan nampan makanan di meja nakas yang berada di samping kasurnya sang pangeran. Aku pun menghidupkan saklar lampu penerangan, agar dapat melihat situasi apa yang sedang terjadi.
Di sudut ruangan, Beliung tengah berjongkok sembari memainkan pisau buah pada sesosok yang terbaring tak berdaya, yang aku yakini mayat dari seorang pelayan.
Ini memang sudah sering terjadi. Windara yang berada dibawah kekuasaan Kuputeri, memiliki 2 pangeran yang gagah perkasa.
Pangeran pertama, pangeran yang populer di khalayak ramai dan sosok yang amat diidolakan. Pangeran Maripos.
Pangeran kedua, tak banyak yang tau bagaimana rupa dari sang pangeran itu. Ia sering dipanggil sebagai 'Pangeran yang gila' dari kerajan Windara. Pangeran Beliung.
Beliung sering terlibat dalam aksi penumpasan darah, dari para rakyat-rakyat Windara tanpa pandang bulu. Yang membuat Kuputeri tak punya pilihan selain mengurung pangeran di kamarnya, untuk mengurangi korban.
"Pangeran, sudah waktunya makan malam." Aku menundukkan kepalaku, menunggu reaksi dari sang pangeran yang tampaknya tak menyadari keberadaanku.
Tangannya yang sibuk menggoreskan luka pada mayat busuk itu terhenti. Beliung memutar lehernya dan mewajahiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.