Ice— orangnya ini emang sedingin namanya. Jangan tanya aku kenapa dia dikasih nama Ice, aku bukan bapaknya.
Ngomongnya irit pake banget, asal kalian tau. Aku jadi berasa ngomong sama kulkas tiga belas pintu.
Kalau di chat juga, Ice paling cuman bakal balas 'Y' setelah dua puluh empat jam pesan terkirim. Masih mending sih kalau dibaca, biasanya Ice enggak bakal membuka chat.
—
Makanya, aku, sang (Nama) yang amat baik hati ini, berinisiatif untuk berinteraksi dengan temanku ini!
Bisa dibilang aku ini badut kelas! Karena aku suka suasana kelas yang meriah dan penuh canda tawa! Mana bisa kita terus-terusan belajar dengan suasana yang suram, bukan?
Aku suka melihat orang lain tersenyum, karena setiap orang pasti punya masalah mereka tersendiri.
Makanya itu, aku, (Nama), ingin memberikan setidaknya sedikit sentuhan warna pada hidup mereka.
Mungkin memang tak begitu berarti, tetapi setidaknya, ini dapat membantu dalam menghibur mereka.
Aku sudah hampir berteman dengan seluruh murid yang ada di sekolah, terkecuali Ice! Aku belum berkesempatan untuk berbincang empat mata dengannya.
Aku merasa kasihan dengannya yang selalu menyendiri, walaupun memang kelihatannya dia yang mau, sih.
Tapi, mana ada manusia yang betah sendirian, bukan? Manusia itu makhluk sosial yang tak bisa bertahan hidup tanpa bantuan manusia lain.
"Misi penaklukan manusia kulkas dimulai!"
—
"Ice, Ice, kamu mau es krim, gak? Aku beli kebanyakan nih, ehehe." Tanyaku pada si pemuda yang sedang termenung.
Kalau Ice makan es itu dihitung kanibal, ya? Duh, gak tau deh.
Pupil matanya bertemu dengan mataku, dia menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki ku dalam diam.
Kayaknya sih dia gatau namaku.
"Aku (Nama), yang duduk di sebelahnya Fang."
"Oh." Jawab Ice singkat. Ini mah terlalu singkat!
"Makasih, (Nama)." Dia kemudian mengambil sebungkus es krim rasa vanilla yang memang ingin kuberikan padanya.
Suaranya serak-serak basah, aduduh.. bahaya banget buat jantungku.
"Sama-sama, Icee."
"Loh, masa Ice doang yang dikasih? Buat aku mana, (Nama)?" Kini kembarannya Ice, Blaze menghampiri ku seolah meminta kejelasan.
Jujur aja aku emang modus beliin Ice es krim, mana aku tau kalau Blaze juga mau.
"Nih buat kamu, Blaze." Daripada ribut, aku kasih aja jatah es krim ku.
"Makasihh, (Nama)!"
Tapi, belum lagi Blaze sempat mengambil es krim yang hendak kuberikan, Ice sudah terlebih dahulu merebutnya dari Blaze.
Aku dan Blaze membeku disaat Ice tiba-tiba langsung menghabiskan es krim tersebut tanpa ada rasa bersalah pada kembarannya ini.
"Heh, Ice!! Itu jatah es krim ku, tau!" Ucap Blaze kesal.
Ice tak membalas, dia hanya diam menatap ponselnya dan menghiraukan ocehan Blaze.
"Ihh! (Nama)!!!" Nah, kan. Sekarang Blaze malah merengek padaku karena es krimnya direbut kembarannya.
"Eh, eh, yaudah. Besok aku beliin lagi, deh." Duh, begini kah rasanya punya anak?
Padahal, mereka bisa beli sendiri. Kenapa coba harus pake acara berantem segala?
Tapi ya sudahlah, Blaze kelihatan senang saat ku bilang akan ku belikan es krim baru.
Nah, nah, sekarang mukanya Ice jadi kusut. Kira-kira dia kenapa, ya? Apa es krimnya enggak enak?
—
Sesuai janji ku, kini aku sudah membelikan dua kembaran ini masing-masing satu buah es krim. Untunglah mereka tidak berantem.
Kalau dari pengamatan ku, Blaze ini lebih suka rasa yang eksotis. Misalnya seperti markisa, jeruk, belimbing, dan sebagainya. Sedangkan Ice, dia lebih menyukai rasa yang umum. Seperti rasa vanilla, coklat, dan strawberry.
Lucu banget, ya.
Aku jadi kepengen punya anak kembar.
Karena sibuk mendengarkan ocehan Blaze, aku jadi tak sadar kalau ternyata es krim di tangan ku mulai meleleh!
Aku jadi panik sendiri, takut seragamku kena lelehan dari es krimnya!
Aduh! Gimana nih? Mana aku gak punya seragam cadangan, lagi! Masa iya aku bolos sekolah cuma karena seragamku kotor? Nice idea.
Tapi eh tapi, tak disangka, Ice menarik tanganku mendekat ke wajahnya.
Dia kemudian menjilat habis es krim ku yang meleleh, membasahi tanganku yang lengket dengan air minumnya dan mengeringkannya dengan tisu kering.
Aku terdiam untuk memproses kejadian yang tak dapat di pahami dengan akal sehat ini.
Bahkan mulut Blaze sampai terbuka lebar, ketika ia menyaksikan bagaimana adik kembarnya bertindak.
"Ice, kamu kayaknya suka banget makan es krim orang, ya?" Aku akhirnya buka suara setelah hening yang lumayan lama.
"ICE?!! AKU GAK NYANGKA. WAH, INI MAH HARUS DIADUIN SAMA BANG HALI!" Blaze tiba-tiba ikutan bersuara.
"..." Ice tak menggubris kembarannya itu. Kasihan Blaze :(
Tapi Blaze nya masih shock perkara Ice yang tiba-tiba jadi perhatian gini. Apalagi ke temen ceweknya, soalnya Ice gak punya temen.
"BANG HALIII!! ICE UDAH BERANI MAIN CEWEK—" Itulah yang Blaze katakan sembari berlari menghampiri Halilintar yang ada di kelas sebelah.
Ice sendiri masih betah memegang tanganku sambil sesekali mengusapnya dengan lembut.
"Enggak juga. Yang aku suka 'tuh kamu," Ice malah menjawab pertanyaanku dengan santai tanpa memperdulikan Blaze yang berteriak.
"Hah?"
Aku lagi mimpi, ya?
"Aku suka kamu, (Nama)."
"Aneh, ya? Aku juga gatau kenapa bisa suka sama kamu." Dia beralih menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal.
Aku.. tak tau harus menjawab apa.
"Selama ini aku juga selalu merhatiin kamu. Walaupun aku ga pernah tau namamu," kini wajahnya sedikit memerah saat mengakuinya.
Wah, wah, ini beneran? For real??
"Kamu cantik di mataku. Makanya,"
Ice tampak malu-malu mengatakannya."Makanya aku jadi gak sadar kalau aku selalu merhatiin kamu."
Ini.. pernyataan cinta? Tapi 'kan, bukan begini tujuanku mendekati Ice.
"Aku suka suara tawa mu, (Nama). Tapi bukan itu aja, sih, aku suka semuanya tentang kamu. Rasanya pengen ku nikahin."
"LOH HE?!" Aku sontak kaget.
Padahal kami baru ngobrol semalem. Semalem.
—
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
عاطفيةCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.