"AHAHAHAHAHAHAHA!" Tawa mengerikan itu terdengar di sepanjang koridor. Benar-benar membuat bulu kudukku merinding.
Aku mempercepat langkahku, urgensi untuk memeriksa kondisi dari pasien yang baru masuk ini memenuhi isi kepalaku. Keadaan mentalnya benar-benar terganggu, sampai-sampai muncul dua kepribadian yang berbeda pada dirinya.
Entah tekanan macam apa yang dialaminya sampai-sampai mengakibatkan munculnya kepribadian yang baru, dikarenakan stres yang dia alami.
"Dokter (Nama)! Ka-kami sudah menginjeksi obat penenang pada pasien, tapi entah kenapa dia-" Asistenku, Fang, panik luar biasa.
Aku menghembuskan nafas karena terlewat frustasi. Pasien yang satu ini sering sekali tantrum.
"Tak apa. Biarkan aku masuk." Aku menepuk-nepuk pundaknya Fang, dan melangkah masuk ke ruangan isolasi.
"Beliung." Aku menautkan kedua tanganku di belakang punggung. Menghadap pada pasienku yang sedang 'mengamuk' ini.
Beliung terlihat tak mendengarkanku. Jari-jarinya memegang erat helaian rambut biru gelapnya sembari mengamuk hebat.
Pikirannya sedang kacau. Bahkan untuk menormalkan netranya saja sulit baginya. Pupil matanya terus bergerak kesana-kemari, menandakan gerak-geriknya yang gelisah karena suatu alasan tertentu.
"HAHA! Ha, mereka membuangku. Habis manis sepah dibuang, HAH! Benar-benar menjijikkan." Beliung bergumam pada dirinya sendiri. Nafasnya terengah-engah sembari dia terus menjambak rambutnya sendiri.
"Beliung, tenangkan dirimu." Aku memegang pundaknya. Ini sama sekali tidak untuk ditiru, ini berbahaya.
Beliung yang merasakan sentuhan pada pundaknya, menangkis lenganku dengan penuh amarah. Alisnya menekuk sesaat dia merasakan gangguan.
"Aku (Nama). Kamu mengingatku?" Aku memajukan wajahku, mempertunjukkan wajahku padanya yang masih sulit untuk mengenali lingkungan sekitarnya.
Alis Beliung terangkat begitu penglihatannya pulih, dan dapat menangkap fitur wajahku. Ekspresinya melunak saat dia akhirnya mengenaliku.
"(Nama)... Mereka membuangku." Beliung menatapku, rasa kecewa tampak pada raut wajahnya.
Aku menyingkirkan jari-jarinya yang menggenggam erat rambutnya, membawanya turun dan memegangnya erat.
"Ambil nafas dengan perlahan, lalu hembuskan. Tenangkan dirimu." Aku mengusap ruas jari miliknya, membiarkan Beliung mendengarkan instruksi dariku.
Beliung menurut dan mulai mengatur pernafasannya. Perlahan tapi pasti, akal sehatnya mulai kembali. Kelopak matanya sedikit demi sedikit menutup, menandakan bahwasanya obat penenangnya mulai bekerja.
"(Nama)... Jangan buang aku." Beliung mengucapkannya sesaat sebelum dia akhirnya kehilangan kesadarannya.
-
"(Nama) maaf." Beliung yang kini benar-benar sepenuhnya sadar, meminta maaf. Tangannya menggenggam bahan pakaianku, rasa bersalah menghantuinya.
"Kenapa?" Aku meladeninya. Beliung memang sering tiba-tiba mengamuk, tapi dia selalu sadar akan perbuatannya.
"Maaf merepotkanmu." Beliung mengelus tengkuk lehernya. Ekspresinya muram saat mengingat tindakan-tindakannya yang menyusahkanku dan rekan-rekanku yang lainnya.
"Tidak mengapa. Ini pekerjaan kami." Aku mengulas senyum. Tanganku mengelus-elus punggungnya untuk memberikannya ketenangan.
Bibir Beliung terangkat naik, pipinya bersemu kemerahan saat aku menenangkannya dengan kata-kata dan tindakanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.