"Halilintar. Aku perintahkan kau untuk pergi menyelamatkan putri penyendiri yang terjebak di menara." Amato mengelus janggut tipisnya selagi menatap pemandangan dari jendela istana.
"Ayahanda? Yang benar saja? Putri itu dirumorkan sebagai putri terkutuk. Ia dijadikan tumbal karenanya." Halilintar menentang perintah sang Ayahanda.
Amato bergelak tawa. Ia membalikkan badan dan menatap Halilintar— putranya.
"Rumor tak pernah berdasar pada kebenaran. Tahu apa dunia mengenai sang putri?" Amato terkikik geli. Bisa-bisanya Halilintar mempercayai rumor yang bertebaran di pergaulan kelas atas.
Halilintar mengernyit heran. Ayahnya ini kerasukan apa sampai-sampai memberikannya tugas untuk menyelamatkan putri dari negara antah-berantah? Lagipula, bukan kewajibannya untuk bergerak menjadi pahlawan kekaisaran.
"Memangnya, kenapa harus diselamatkan? Sudah bertahun-tahun lamanya sang putri tinggal di menara. Mungkin saja sekarang dia sudah membusuk." Halilintar mencemooh.
Bagaimanapun, Halilintar tidak bisa terima kalau harus mempertaruhkan nyawanya demi putri yang bahkan tak dikenal di pergaulan para bangsawan.
"Nyatanya sang putri adalah putri dari Grand Duke Pian. Aku sendiri baru mengetahuinya akhir-akhir ini." Amato memegang pundak Halilintar.
Tak mungkin Halilintar tak kenal, Grand duke sendiri adalah sahabat masa kecil Ayahnya. Mereka tak terikat oleh darah, tapi Grand duke selalu mengajarkan banyak hal untuk Halilintar.
"Grand duke tidak pernah menikah." Halilintar tak akan percaya semudah itu. Bisa saja itu hanyalah informasi bohongan agar ia mau menyelamatkan sang gadis yang malang.
"Ia memang tak menikah, tapi ia menjalin hubungan dengan pelayan." Amato menguatkan genggamannya pada pundak sang penerus.
"Sudah jelas? Pergilah dan selamatkan putri yang malang itu. Jangan kembali sebelum kau menemukannya."
—
Halilintar mendecakkan lidahnya. Letak menara tempat tinggal sang putri penyendiri yang dirumorkan itu berada di seberang benua. Membutuhkan waktu berminggu-minggu baginya untuk sampai ke tempat tujuan.
Hanya satu permasalahan yang tersisa; Bagaimana caranya Halilintar naik ke atas menara?
Tak terdapat semacam pintu atau apapun di bagian kaki menara yang memiliki tinggi sekitar 17 meter di kolong langit. Yang membuat bangunan seperti ini sudah gila, kah?
Halilintar sudah bersusah payah menaungi samudera dan mendaki tebing-tebing yang curam. Malangnya, setibanya disini Halilintar malah semakin diberikan cobaan.
"Kalau bukan karena hutang budiku pada Paman Pian, aku tak akan sudi." Halilintar berdecak lidah.
Ia memarkirkan kuda bercorak putih miliknya di tepi menara dengan seutas tali yang mengekang pergerakannya.
Kedua bagian lengan bajunya digulung hingga sikut, sebelum akhirnya Halilintar memanjat naik pada menara yang curam itu. Ia beruntung dikarenakan struktur pembangunan menara yang tidak mulus, hingga dapat dipanjat dengan mudah.
Kalau hanya sekedar memanjat, Halilintar sudah biasa. Si Amato sialan itu sudah sering menyiksanya untuk memanjat tebing dengan nyawa sebagai taruhannya.
Dengan cepat dan tangkas, Halilintar melalui menara kuno yang curam itu. Ia menerobos masuk pada jendela kaca yang menghalangi jalan masuknya dan menelusuri sekelilingnya.
Tak dapat ia temukan jejak-jejak kehidupan di dalam. Mungkin saja si putri terkutuk sudah lama mati, hingga bahkan tak menyisakan tulang-belulang.
"Sialan." Halilintar sudah jauh-jauh mengembara, taunya sang putri benar-benar sudah tak ada di dunia. Bagaimana caranya Halilintar bisa pulang? Bahkan jasadnya saja tidak ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
Roman d'amourCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.