"(Nama), aku suka kamu. Jadilah pacarku!" Seorang remaja membungkukkan tubuhnya dengan penuh pengharapan kepada sang pujaan hatinya.
Ia mempertaruhkan segala hal yang ia miliki; ketenaran, harga diri, dan perasaannya. Memberanikan dirinya untuk menembak (Nama), sang pujaan hati di hadapan seluruh murid. Nyali Fang memang tak tertandingi.
"Maaf, aku menolak." Tak membutuhkan waktu lama bagi (Nama) untuk memberikan jawabannya.
Membuat semua orang menyayangkan sang geng motor yang nekat menembak dirinya.
—
"Tau gak, kenapa (Nama) gak pernah mau pacaran sama laki-laki di sekolah ini?"
"Iya juga, ya? Padahal (Nama) lumayan populer di kalangan anak laki-laki, tapi gak ada satupun yang diterima."
"(Nama) itu lesbi, jir. Kemaren, aku ngeliat sendiri dia peluk-pelukan sama kakak kelas."
"HAH?!! Yang bener aja!"
"BOHONG AH!"
"Serius gua! Si (Nama) kemaren berduaan sama Kak Kira'na! Gua ada fotonya."
"Elu negative thinking aja. Biasa aja kali, cewek pelukan."
"Bener juga. Cewek kan memang suka peluk-peluk."
Pembicaraan yang tak mengenakkan itu sayangnya merupakan satu-satunya hal yang terdengar di gendang telinganya Gempa. Sebagai salah satu di antara orang-orang yang mengagumi (Nama) dalam diam, Gempa tentunya tak dapat membiarkan hal itu terjadi.
"Hei kalian. Gak baik ngomongin hal yang kita gak tau kebenarannya. Maaf, tapi tolong dihentikan." Gempa berucap tegas pada sekelompok orang yang nongkrong di kantin.
Tapi Gempa tak bisa berdusta, kalau dia juga sedikit mempercayai rumor yang tersebar. Gempa tentunya tak mau memikirkan yang tidak-tidak, makanya Gempa lebih memilih untuk menanyakan hal yang sebenarnya kepada orangnya secara langsung.
Gempa berjalan memasuki ruangan kelas yang sudah kosong. Kebetulan jam pelajaran sudah berakhir, dan menyisakan (Nama) yang memang selalu menunggu seisi sekolah sepi sebelum beranjak pulang. Gempa sudah amat mengenal kebiasaannya itu.
"(Nama), boleh kita bicara sebentar?" Gempa menarik kursi yang ada di depannya (Nama) dan duduk dengan tenang.
Suasana kelas sangat mendukung Gempa untuk mengajukan pertanyaan untuk membuktikan kecurigaannya. Hanya ada mereka berdua di kelas ini, tanpa ada seorang pengganggu pun.
"Ya. Oke?" (Nama) melepaskan headset miliknya dan fokus menatap Gempa. (Nama) memang selalu menghargai lawan bicaranya dengan tidak menggunakan ponselnya saat lawan bicaranya sedang berbicara. Salah satu hal yang amat Gempa sukai darinya.
"Aku minta maaf sebelumnya. Maaf banget. Apa kamu... Uhm.. tidak tertarik pada lawan jenis? Maksudku—" Gempa benar-benar canggung mengajukan pertanyaan yang kurang ajar ini. Gempa bukannya mau menghakimi (Nama), Gempa hanya tak ingin gadis pujaannya terjerumus ke jalan yang salah.
"Ya, memang. Aku penyuka sesama jenis. Ada masalah?" (Nama) menyenderkan punggungnya pada kursi, kedua tangannya menyilang di dekapannya selagi dia menatap Gempa dengan tatapan tersinggung.
Kedua mata Gempa terbuka lebar. Kecurigaannya terbukti benar langsung dari sumbernya. Gempa benar-benar tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kecewa? Marah? Sedih? Entahlah.
"Begini, (Nama)... Aku tau, ini memang hidupmu. Aku tak berhak mencampuri urusan pribadimu, tapi—" Gempa menggantung kalimatnya. Apa yang harus ia katakan? Memangnya, Gempa berhak atas dasar apa untuk menasehati (Nama) dalam mengurus kehidupan pribadinya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.